Kamis, 10 November 2022

Halaman Terakhir (Perihal Memilih Untuk Menyudahi)

Ada satu hal yang membuatku ingin terus membuka halaman per halaman. Menantangku untuk mengetahui sesuatu yang akan terjadi berikutnya. Tiap halamannya, aku menemukan apapun yang membuatku tertarik untuk terus membaca.

Membaca sesuatu yang masih abstrak, perlahan memahami, dan berlabuh pada titik dimana aku menikmati waktu membacaku.

Menyedihkan, mengecewakan, menyenangkan, dan membahagiakan. Warna-warna itu selalu ada setiap aku mencoba menjelajahi dari mana asalnya dan bagaimana akhirnya.

Harapku, halamanku akan terus bertambah. Tiap harinya, dihiasi berbagai macam warna. Namun ada satu hal yang sengaja aku abaikan, bahwa sebuah buku sudah barang tentu memiliki jumlah halaman. Entah diakhiri dengan tulisan penutup, atau bisa saja dengan halaman kosong.

Hingga pada akhirnya, aku merasa sia-sia. Membaca satu buku dengan berulang. Beberapa kali aku coba untuk tetap berada pada titik menikmati, sembari menyeruput kopi panas dan kadangkala aku membaca buku ini dengan suasana yang berbeda.

Sering aku berusaha untuk lebih memahami halaman per halamannya, seperti yang biasa aku lakukan. Semakin aku memahami, semakin aku menemukan terang, buku ini harus aku akhiri, segera. Mau tidak mau.

Aku memutuskan sebuah kenyataan bahwa buku ini telah usai aku baca. Halaman terakhir yang aku temukan adalah halaman kosong, yang mana aku harus memberi catatan tentang bagaimana kesan dan perasaanku sepanjang perjalanan menamatkan buku ini.

Kamu, adalah bagianku yang hilang. Yang sedikit aku temukan tentangmu di buku ini.

Kesanku sangat banyak, perasaanku bercampur. Bagaimanapun itu, takdir adalah yang memihak kita. Sementara aku memilih untuk menyelesaikan.

Apakah aku tidak bersyukur pada takdir? Atau apakah aku sedang mengubah takdir?

Itulah, yang aku tulis, dihalaman terakhir.

Kamis, 24 Juni 2021

Perkawinan Beda Agama di Berbagai Negara, bagaimana di Indonesia?

Disusun Oleh: Sofiyatun Nur Khasanah

Kondisi yang plural terdiri dari perbedaan suku, ras, dan agama di suatu negara membuat warga negaranya harus hidup berdampingan dengan yang lain, dari keadaan plural inilah tak jarang dari mereka merasakan jatuh cinta antar umat beragama yang kemudian hendak direalisasikan dalam perkawinan beda agama. Perkawinan beda agama sampai saat ini masih menjadi kontroversi tersendiri di suatu negara. Ada negara yang tegas melarang, namun tak sedikit pula yang masih memberi peluang untuk melakukan perkawinan beda agama dengan beberapa ketentuan yang dipersulit. 

Perkawinan beda agama diberbagai negara mempunyai peraturannya sendiri. Melalui peraturan dan perundang-undangannya masing-masing negara mengeluarkan regulasi bahwa perkawinan beda agama itu dilarang. Pelarangan ini bersifat mutlak bagi wanita muslim yang hendak menikahi laki-laki non-muslim. Namun untuk laki-laki muslim diberi pengecualian boleh menikahi wanita non-muslim dalam keadaan tertentu, yaitu wanita tersebut haruslah wanita dari golongan ahli kitab (pengikut agama Yahudi dan Nasrani sebelum kedatangan agama Islam). Beberapa negara yang mengeluarkan regulasi tersebut adalah Afghanistan, Algeria, Bangladesh, Bahrain (Pasal 11 Undang-Undang Nomor 19 tahun 2009), Brunei, Djibouti, Egypt, Irak, Iran, Jordan, Kuwait, Libya (Pasal 12 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1984 tentang Hukum Keluarga), Malaysia,Maroko (Pasal 39 ayat (4) Undang-Undang Status Pribadi tahun 2004), Oman, Qatar, Sudan, Uni Emirat Arab (Pasal 47 Undang-Undang Nomor 28 tahun 2005), Gaza, Lebanon, Maladewa, Pakistan, Arab Saudi, Somalia, Tunisia, Yaman, dan Indonesia.

Di Malaysia misalnya, laki-laki muslim diperbolehkan menikahi wanita non-muslim selagi wanita tersebut adalah golongan dari ahli kitab. Di negara Malaysia, kriteria dari ahli kitab sendiri diperketat yaitu seorang wanita yang nenek moyangnya berasal dari Bani Ya’qub, seorang wanita yang nenek moyangnya adalah orang Kristen sebelum kenabian Nabi Muhammad, seorang wanita Yahudi yang nenek moyangnya adalah orang Yahudi sebelum kenabian Nabi Isa. Pengadilan Malaysia mengatakan bahwa selama tidak ada larangan dalam suatu agama untuk melakukan pernikahan beda agama, maka sah-sah saja dilakukan. Di Libya, melalui Pasal 12 Undang-Undang nomor 10 Tahun 1984 tentang Hukum Keluarga mengatur bahwa akad nikah dianggap batal jika seorang wanita muslim menikah dengan pria non-muslim, dan seoramg pria muslim yang menikahi wanita non-muslim bukan ahli kitab.

Kemudian di Brunei, pada awalnya pernikahan beda agama antara laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab itu diperbolehkan dan diperketat yaitu Kristen dan Yahudi yang merupakan keturunan Israel. Namun menurut laporan Departemen Luar Negeri pada 2012,  pernikahan antara Muslim dengan non-Muslim tidak di izinkan, dan non-Muslim harus masuk Islam terlebih dahulu, dalam artian perkawinan beda agama mutlak dilarang tanpa pengecualian. Sementara itu di Iraq, Pasal 17 Undang-Undang Nomor 188 Tahun 1959 menyatakan perkawinan antara perempuan Muslim dengan dilakukan non-Muslim tidak sah. Pasal 18 lebih lanjut mensyaratkan bahwa pasangan suami istri haruslah muslim agar pernikahan itu sah. Ini berarti perkawinan beda agama di Iraq mutlak dilarang. Rata-rata dari semua negara yang dibahas dalam jurnal sebelumnya, sebagian besar negara memperbolehkan seorang pria muslim menikahi wanita non-muslim yang ahli kitab dan melarang pernikahan antar wanita muslim dengan pria non-muslim, kecuali pria tersebut harus masuk Islam terlebih dahulu. Lantas bagaimana perkawinan beda agama di Indonesia?

Menurut ulama kontemporer yaitu Quraish Shihab, perkawinan beda agama tidak diperbolehkan dan dilarang. Adapun dasar hukum yang digunakan untuk ber-istinbath atas permasalahan tersebut adalah surat al-Baqarah ayat 221. Pandangan Quraish Shihab menurut dalam ayat ini adalah apabila laki-laki muslim menikahi wanita selainahli kitab dilarang, namun jika wanita tersebut merupakan ahli kitab  masih diperbolehkan, atau dalam kaidah hukum Islam dikategorikan mubah. Hal ini sesuai dengan surat al-Maidah ayat 5. Dalam surat al-Maidah ayat 5 Quraish Shihab memberi patokan bahwa hanya pria muslim saja yang boleh menikahi wanita ahli kitab, dan tidak berlaku sebaliknya yaitu wanita muslim menikahi pria ahli kitab sebagaimana yang terkandung dalam surat Al-Mumtahanah ayat 10 (yang melarang wanita muslimah menikahi pria kafir baik ahli kitab maupun musyrik).[1]

Yang dimaksud dengan ahli kitab menurut Quraish Shihab hanya mencakup dua golongan saja, yaitu Yahudi dan Nasrani. Pemahaman dan pendapat beliau tidak serta merta menafsirkan untuk memperbolehkan perkawinan muslim dengan wanita ahli kitab kecuali dengan kriteria ahli kitab itu harus benar-benar berpegang pada agama samawi, wanita ahli kitab tersebut adalah wanita yangt muhsonat, yaitu mampu menjaga diri dari perbuatan zina dan perbuatan keji lainnya.[2] Quraish Shihab menjelaskan bahwa ahli kitab yang boleh dikawini adalah wanita yang terhormat, yang selalu menjaga kesuciannya, dan sangat menghormati serta mengagungkan kitab suci.

Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, pada Pasal 2 ayat (1) menyatakan “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut masing-masing agama dan kepercayaannya itu”. Bagi sebagian para ahli hukum, pasal ini masih multitafsir sehingga terjadi adanya kekosongan hukum dan masih bisa melakukan perkawinan beda agama dengan menggunakan Perkawinan Campuran dalam GHR sebagai alternatifnya. Namun pasca putusan MK No. 68/PUU/XII/2014 yang memutuskan menolak permohonan uji materi (Judicial Review) Pasal 2 ayat (1), maka perkawinan beda agama secara mutlak tidak diperbolehkan. Putusan ini sudah sesuai dengan nilai-nilai agama, nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila, dan konstitusi UUD 1945. Eksistensi putusan ini telah mampu menampilkan kekuatan hukum larangan beda agama sebagaimana dijelaskan dalam tafsiran Pasal 2 ayat (1) UUP.  Sahnya perkawinan yang didasarkan pada hukum agama (Islam) juga terdapat dalam Kompilasi Hukm Islam Pasal 40 (c) dan Pasal 44, Pasal 8 huruf (f), Pasal 118 KHI dan fatwa MUI Nomor:  4/MUNAS VII/MUI/8/2005. Keputusan Seminar perkawinan beda agama di Universitas Katolik Atmajaya tanggal 21Maret 1987, pada prinsipnya gereja melarang perkawinan campur beda agama.

Kesimpulan:

Perkawinan beda agama di Indonesia memang begitu sulit untuk dilakukan, untuk orang beragama Islam misalnya, pasangan yang hendak menikah beda agama menemui kesulitan untuk mendapat persetujuan KUA. Sehingga tidak jarang banyak pasangan nikah beda agama yang lebih memilih mnelangsungkan pernikahannya diluar negeri. 

Perkawinan beda agama bertentangan dengan tujuan hukum Islam, yakni tidak dapat memelihara agama dan keturunan, sebagai mana yang tertuang dalam maqashid al-syariah. Perkawinan beda agama juga sering menimbulkan banyak terjadinya konflik. Apabila terjadi distoleransi, maka memunculkan sengketa perkawinan yang berujung pada perceraian. Perkawinan yang satu agama saja sering terjadi konflik, apalagi yang berbeda agamanya.  Perkawinan beda agama akan mendatangkan banyak mafsadat nantinya, dan itu harus dihindarkan. Terdapat suatu kaidah yang bisa dijadikan solusi yaitu kaidah “dar’u al-mafasid muqaddamun ‘ala jalbi al-mashalih” yaitu mencegah kemafsadatan diutamakan daripada mendatangkan kemashlahatan, dan bisa menggunakan kaidah “apabila halal dan haram berkumpul, maka dimenangkan yang haram”.



[1] Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah III (Jakarta: Lentera, 2003), 28.

[2] Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah I (Jakarta: Lentera, 2003), 209.


Senin, 03 Mei 2021

Kebebasan Berpendapat dalam Undang-Undang Nomor 11Tahun 2008

 

Kebebasan berpendapat yang sering disurakan oleh masyarakat akhir-akhir ini menjadi angin segar dalam mengeluarkan pikirannya serta gagasannya. Terlebih lagi setiap individu mempunya hak tersebut yang memang tidak bisa dihalangi, dihambat apalagi dibatasi. Terlebih pada era sekarang, perkembangan teknologi dan informasi pada era digital ini sangat signifikan kemajuannya. Dengan adanya era digital ini, masyarakat mempunyai banyak peluang dan kesempatan dalam mengemukakan pendapatnya di muka umum. Tidak terkecuali pada dunia media sosial, pada kondisi ini masyarakat bebas mengeluarkan pendapat serta kritikannya di duni maya, dimana bisa dilakukan kapan saja dan dimana saja. Namun jika melihat realita yang ada, kebebasan berpendapat di Indonesia hampir tidak terealisasikan sebagaimana mestinya. Semua kegiatan kebebasan berpendapat sangat tidak berjalan sehingga menghambat masyarakat untuk melakukan hak nya.

Dengan adanya internet sekarang ini, seseorang dapat melakukan hal apapun tanpa perlu batasan, mereka dapat melakukan komunikasi, mencari tahu informasi, bahkan menyampaikan pendapatnya dimuka umum tanpa ruang dan waktu. Akan tetapi teknologi yang semakin berkembang juga menjadi salah satu celah seseorang melakukan kejahatan-kejahatan berbasis online, yang mana dapat merugikan pihak-pihak terkait. Lalu bagaimana dengan kebebebasan berpendapat?

Perjalanan hukum akhir-akhir ini banyak sekali menimbulkan fenomena seseorang yang terjerat UUITE karena pendapat atau kritikan mereka dimedia sosial. UU ITE ini merupakan payung hukum di Indonesia yang dicetuskan pertama kali pada era presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dimana yang sudah diketahui oleh masyarakat luas saat disahkannya UU ITE ini sangat banyak menuai kontroversi.

Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 yang menyatakan: Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya ditetapkan degna undang-undang. Hal ini juga sejalan dengan ketentuan Pasal 19 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM) yang berbunyi “setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas (wilayah).” Ketentuan ini dimaksudkan agar adanya perlindungan dan jaminan akan kebebasan berpendapat di Indonesia.

Seiring kemajuan teknologi dan dunia digital, dimana tidak ada lagi sekat-sekat yang menjadi batasan manusia dalam berkomunikasi, seringkali manusia lupa menghargai dan menghormati hak orang lain. Dulunya hukum pada media sosial hanya dibentuk berdasarkan tuntutan zaman, meskipun sebenarnya terkait perkara pidana sebelum ada UU ITE telah diatur dalam KUHP, namun pembatasan-pembatasan dirasa tidak berpengaruh bagi masyarakat Indonesia. Setelah lahirnya UU ITE, diharapkan permasalahan dan pelanggaran di media sosial yang berakibat merugikan hak orang lain dapat diatasi dan dipantau dengan mudah. Karena bagaimanapun, UU ITE memberikan kepastian hukum dari berbagai macam persengketaan di media sosial yang kemungkinan semakin hari semakin kompleks, juga sebagai antisipasi agar dalam menggunakan media sosial masyarakat akan berhati-hati dan lebih bijaksana lagi.

Akan tetapi pada beberapa kondisi pula, UU ITE dianggap sebagai regulasi yang membatasi ruang gerak masyrakat dalam menyampaikan pendapat ataupun kritikan di media sosial. Sudah banyak sekali kasus-kasus yang mejerat seseorang atas kebebsan berpendapat mereka. Alih-alih ingin membela diri dan menyalurkan apa yang ada dipikirannya, justru malah diberi bom yang tidak disanga-sangka dengan dijadikan sebagai terlapor dalam kepolisian.

Namun disisi lain, negara pun mempunyai 3 kewajiban kepada warganegaranya, yaitu melindungi, menghormati, memenuhi. Yang dimaksud kebebasan disini adalah kebebasan yang terbatas, yaitu kebebasan yang diatur dalam perundang-undangan sehingga tidak menganggu hak orang lain. Karena sesuai kodrat manusia, setiap manusia mempunyai hak yang harus dijunjung tinggi, dihormati,dan dihargai. Oleh karena itu Indonesia sebagai negara hukum sangat memperhatikan dan melindungi apa yang sudah menjadi hak warga negaranya.

UU ITE berfungsi sebagai pembatas dalam hal ini, yang mana digunakan sebagai langkah preventif agar masyarakat lebih bijak dan berhati-hati lagi dalam bermedia sosial. Pada DUHAM Pasal 29 ayat (2) dijelaskan “dalam menjalankan hak-hak kebebasan-kebebasannya, seorang harus tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang yang tujuan semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormtan yang tepat terhadap hak-hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil dalam hal kesusilaan, ketertiban, dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.” Sehingga dapat dipahami bahwa pembatasan kebebasan berpendapat yang ditetapkan pemerintah Indonesia melalui UU ITE ini bukanlah suatu pelanggaran HAM karena hal tersebut dimungkinkan sebagaimana diatur dalam DUHAM sepanjang diatur dalam peraturan perundang-undangan guna memberikan jaminan perlindungan dan penegakan HAM orang lain. Karena biar bagaimanapun dalam suatu kebebasan, didalamnya akan selalu terdapat hak orang lain yang harus dilindungi.

 

 

Selasa, 06 Oktober 2020

Ekonomi Mikro Islam, Hukum dan Teori Permintaan Ekonomi


 


EKONOMI MIKRO ISLAM


 BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Kegiatan perekonomian semakin hari semakin kompleks, sebagai tuntutan dari perkembangan hidup yang lebih maju dan modern. Kegiatan perekonomian tersebut terutama adalah kegiatan produksi, konsumsi dan perdagangan. Suatu kegiatan ekonomi baik itu skala kegiatan ekonomi mikro maupun makro, selalu diawali dengan adanya interaksi antara produsen dengan konsumen. Adapun  interaksi antara produsen dengan konsumen dalam kegiatan ekonomi mikro diwujudkan dalam permintaan dan penawaran.

Dalam teori ekonomi mikro, dikenal teori permintaan dan penawaran. Teori permintaan berusaha menjelaskan sifat permintaan para pembeli terhadap suatu barang sedangkan teori penawaran menjelaskan sifat penawaran para penjual atau produsen. Pada kajian ekonomi mikro, pada dasarnya harga dan permintaan (demand) maupun penawaran (supply) bergantung pada individu dalam suatu perekonomian.[1] Permintaan yang berarti dari pihak konsumen dan penawan dari pihak produsen. Kedua hal ini adalah pokok dalam suatu permasalahan ekonomi, karena dua hal tersebut yang membuat perekonomian pasar bekerja.

Dalam makalah ini, penulis akan memaparkan tentang teori permintaan Islami dan apa saja yang terkait dalam pembahasan teori permintaan Islami tersebut.

B. Rumusan Masalah

1.      Apa dimaksud pengertian, Hukum dan Teori Permintaan ?

2.      Bagaimana Cara Memahami Kurva Permintaan ?

3.      Bagaimana Utilitas Barang Halal Haram ?

4.      Bagaimana Barang Haram dalam Kondisi Darurat ?

B.     Tujuan

1.      Mengetahui apa yang dimaksud dengan permintaan, hukum permintaan dan teori permintaan.

2.      Mengetahui cara dalam memahami permintaan melalui kurva permintaan.

3.      Mengetahui utilitas atau kegunaan barang halal haram.

4.      Mengetahui hukum barang haram dalam kondisi darurat.

 

 

                                                        BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian

Permintaan adalah benyaknya kesatuan barang yang akan dibeli oleh pembeli pada bermacam-macam tingkat harga dalam jangka waktu tertentu dan syarat tertentu.[2] Permintaan dapat dikatakan juga sebagai keinginan (desire) untuk mendapatkan barang dan jasa yang diikuti oleh kemampuan beli (purchasing power). Kemampuan beli seseorang erat kaitannya dengan tingkat pendapatan dan juga harga barang. Harga dan pendapatan (jumlah uang) akan mempengaruhi kemampuan beli dan keinginan untuk mendapatkan barang terealisasi. 

Misalnya : seorang punya keinginan untuk membeli mobil tapi tidak punya uang yang cukup sesuai harga mobil, maka keinginan tersebut belum dapat dikatakan permintaan.

Terdapat beberapa pendapat mengenai permintaan, beliau menyangkal pendapat umum mengenai hubungan timbal terbalik antara persediaan barang dan harga karena pada kenyataannya harga tidak tergantung pada permintaan saja, tetapi juga bergantung paa kekuatan penawaran. Abu yusuf mengatakan :

‘’ Tidak ada batasan tertentu tentang murah dan mahal yang dapat dipastikan. Hal tersebut ada yang mengaturnya. Prinsipnya tidak bisa diketahui. Murah bukan karenamelimpahnya makanan, demikian juga mahala tidak disebabkan karena kelangkaan makanan. Murah dan mahal merupakan ketentuan Allah.’’

Menurut Siddiqi, ucapan Abu Yusuf harus diterima sebagai pernyataan hasil pengamatannya saat itu, yakni keberadaan yang bersamaan antara melimpahnya barang dan tingginya harga serta kelangkaan barang dan harga rendah.[3]

Fungsi permintaan (demand function) adalah fungsi yang memperlihatkan keterkaitan antara variabel jumlah permintaan dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut ialah :

1.      Permintaan ( semakin tinggi pendapatan seseorang, permintaan terhadap suatu barang akan meningkat, walaupun harga barang tersebut tidak berubah).

2.      Harga barang-barng lain yang terkait ( harga barang-barang lain yang terkait dengan barang yang sedang dianalisis. Permintaan terhadap susu murni akan meningkat apabila harga susu bubuk naik).

3.      Selera atau cita rasa.

4.      Jumlah penduduk ( semakin besar jumlah penduduk suatu daerah, semakin banyak pula permintaan produk di daerah tersebut).[4]

5.      Harga barang itu sendiri.

6.      Ramalan.[5]

B.     Hukum Permintaan

Permintaan terhadap barang dan jasa didefinisikan sebagai :

‘’ Bila harga naik maka jumlah barang yang diminta semakin berkurang, sebaliknya bila harga turun maka jumlah barang yang diminta akan bertambah.’’

            P (Harga)                   Qd (Jumlah barang)

‘’ Kuantitas barang atau jasa yang bersedia untuk membelinya pada berbagai tingkat harga dalam suatu periode waktu tertentu.’’

Maksud diatas ialah, orang bersedia untuk membelinya untuk memberi penekanan pada kegiatan konsumsi yanng dilakukan secara aktif oleh masyarakat konsumen, yang dipengaruhi oleh tingkat harga. Sedangkan kata ‘bersedia’ mendapat penekanan tersendiri. Didalamnya terkandung makna, bahwa konsumen memiliki keinginan untuk membeli suatu barang atau jasa (Dengan kata lain konsumen memiliki ‘preferensi’ terhadap barang atau jasa tersebut), sekaligus ia juga memiliki kemampuan, yaitu barang atau pendapatan, untuk membeli dalam rangka memenuhi keinginannya tersebut.  Kemampuan tersebut seringkali diberi istilah daya beli. Jadi, konsep permintaan terhadap barang atau jasa hanya memerhatikan konsumen yang memiliki preferensi dan daya beli.[6]

C.    Teori

Dalam teori ekonomi permintaan ini, dijelaskan bahwa kita harus berfikir tentang bagaimana teori ini yang dikembangkan Barat membatasi analisisnya dalam jangka pendek, yakni hanya sejauh bagaimana manusia memenuhi keinginannya saja. Analisis tidak hanya memasukkan nilai-nilai dan sosial, tetapi hanya dibatasi pada variabel pasar semata seperti harga, pendapatan, dan sebagainya. Disini kita akan membahas bagaimana agama Islam mengatur tentang konsumsi dan memengaruhi hukum permintaan.

Dalam ekonomi Islam, setiap keputusan ekonomi seorang manusia tidak lepas dari nilai-nilai moral dan agama setiap kegiatan senantiasa dihubungkan kepada syariat. Al-qur’an menyebut ekonomi dengan istilah iqtishad (penghematan, ekonomi), secara literal berarti ‘pertengahan’ atau ‘moderat’. Seorang muslim dilarang diminta untuk mengambil sebuah sikap moderat dalam memperoleh dan menggunakan sumber daya. Dia tidak boleh israf (royal, berlebih-lebihan), tetapi juga dilarang bukhl (pelit).[7]

Allah swt berfirman dalam QS. Al-An’aam : 141 “ dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.’’ Pengamalan ayat tersebut berarti menujukan sikap untuk memerangi kemubadziran, sok pamer, mengonsumsi brang-barang yang tidak perlu. Dalam bahasa ekonomi, perilaku konsumsi Islami yang tidak berlebih-lebihan berarti bahwa pola permintaan Islami lebih didorong oleh faktor kebutuhan (needs) daripada (kebutuhan).[8]

D.    Kurva Permintaan

Kurva permintaan ( Demand Curve ) menyatakan seberapa banyak kuantitas barang atau produk yang bersedia dibeli oleh konsumen dikarenakan perubahan per unit. Dalam hal ini, kuantitas permintaan terhadap suatu barang dipengaruhi oleh tingkat harga yang ditetapkan.

Skedul permintaan (Demand Schedule) adalah suatu tabel yang memperlihatkan hubungan antara jumlah permintaan (Q) terhadap suatu barang dengan berbagai tingkat harga (P) barng tersebut dalm bentuk angka-angka.

Kurva permintaan (Demand Curve) adalah suatu kurva atau garis yang memperlihatkan hubungan antara jumlah permintaan (Q) terhadap suatu barang dengan berbagai tingkat harga (P) barang tersebut.

 

Tabel

Price

Q of D

10.000

10

8.000

20

6.000

30

4.000

40

2.000

50

10.000     ........*D                   P       Qd

8.000       .....................*

6.000       .................................*

4.000       ..............................................*

2.000       ...........................................................*D

                        10        20        30        40        50

Perhatikanlah bahwa kurva permintaan yang ditandai dengan D, kemiringannya menurun. Kenapa demikian ? karena Slope yang menurun disebabkan oleh perilaku rasional seorang konsumen, yaitu apabila harga naik mereka kan menurunkan konsumsinya, begitu pula sebaliknya bila harga turun mereka akan menaikkan konsumsinya. Dimana satu-satunya faktor yang menyebabkan perubahan tingkat kuantitas atas suatu produk hanya dipengaruhi oleh perubahan tingkat harga. Dalam ilmu ekonomi yang dikenal sebagai pergerakan sepangjang kurva (moving along the curve), dimana perubahan konsumsi hanya terjadi disepanjang kurva permintaan tersebut dan tidak terjadi pergeseran dalam pergeseran kurva permintaan.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa pergerakan kurva permintaan hanya terjadi oleh perubahan atas harga itu sendiri. Apabila harga barang naik, maka kurva permintaannya dapat bergerak menurun, begitu pula sebaliknya apabila barang tersebut turun.[9]

 

E.     Utilitas Barang Halal Haram

Dalam ilmu ekonomi tingkat kepuasan (utility function) digambarkan oleh kurva indiferensi (indifference curve). Biasanya yang digambarkan adalah tingkat kepuasan antara dua barang (jasa) yang keduanya memang disukai oleh konsumen. Dalam membangun teori tingkat kepuasan, digunakan tiga aksioma pilihan rasional, yakni:

  1. Kelengkapan

Aksioma ini mengatakan bahwa setiap individu selalu dapat menentukan keadaan mana yang lebih disukainya diantara dua keadaan. Bila A dan B adalah dua keadaan yang berbeda, maka individu selalu dapat menentukan secara tepat satu diantara tiga kemungkinan ini:

      A lebih disukai daripada B

      B lebih disukai daripada A

      A dan B sama menariknya

  1. Transitivitas

Aksioma ini menjelaskan bahwa jika seorang individu mengatakan “A lebih disukai dari B” dan “ B lebih disukai dari C”, maka ia pasti akan mengatakan bahwa “ A lebih disukai daripada C “. Aksioma ini sebenarnya untuk memastikan adanya konsistensi internal di dalam diri individu dalam mengambil keputusan.

  1. Kesinambungan

Aksioma ini menjelaskan bahwa jika seorang individu mengatakan “ A lebih disukai daripada B “, maka keadaan yang mendekati A pasti juga lebih disukai daripada B.

Fungsi Utilitas dalam Islam

Dalam konsep Islam sangat penting membagi jenis barang dan jasa yaitu barang dan jasa yang halal dan yang haram. Oleh karena itu kedua hal itu dapat digambarkan secara berbeda dalam fungsi utilitasnya.

Fungsi utilitas digambarkan oleh kurva indefference. Fungsi utilitas juga menggambarkan adanya tingkat kepuasan mengkonsumsi sejumlah barang/jasa pada jumlah tertentu. Semakin banyak jumlah yang dikonsumsi, maka akan semakin besar pula tingkat kepuasan yang didapatnya. Namun hal ini tidaklah berlaku seterusnya. Dalam teori utilitas dikenal juga konsep penurunan utilitas marjinal (diminishing marginal utiliity) yang menjelaskan adanya penurunan kepuasan (utilitas) pada setiap tambahan yang diberikan. Hal ini juga berimplikasi akan adanya suatu kepuasan total yang maksimal terhadap konsumsi suatu barang/jasa. Selain teori-teori yang dijelaskan di atas ada beberapa lagi teori turunan yang menjelaskan tentang fungsi utilitas.

Dalam perkembangannya, teori tentang utilitas memicu timbulnya gerakan-gerakan pemikiran, seperti aliran utilitarianisme (utilitarianism) yang menghendaki adanya usaha dari pemerintah untuk memaksimalkan utilitas total dari setiap anggota masyarakatnya dengan jalan pendistribusian pendapatan dari kalangan kaya kepada masyarakat miskin. Selain itu ada juga aliran liberalisme dan libertarianisme yang tidak jauh berbeda pemikirannya dengan paham utilitarian, yang menghendandaki adanya usaha memaksimalkan utilitas total setiap anggota masyarakat.[10]

F.     Permintaan Barang Haram dalam Kondisi Darurat

Darurat didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mengancam keselamatan jiwa. Oleh karena itu, sifat darurat itu adalah sementara maka permintaan barang haram pun hanya bersifat isidentil (waktu tertentu saja).[11]

            Seperti pada contoh sebagai berikut : suatu permintaan barang haram dalam keadaan darurat adalah unik untuk setiap keadaan darurat yang muncul. Misalnya dalam keaaan darurat seperti kisah jatuhnya pesawat terbang, maka permintaan daging bangkai manusia hanya berlaku pada keadaan darurat itu saja. Tidak dapat kita katakan bahwa bila telah lima hari tidak dimakan, maka permintaan akan daging bangkai manusia sejumlah 1kg, sedangkan bila 4 hari tidak dimakan permintaannya hanya sejumlah ¾ kg. Kita pun tidak dapat mengatakan bahwa bila 7 hari tidak dimakan, maka permintaan daging bangkai tidak memenuhi satu dari tiga aksioma yang menjadi dasar teori utility function.

 

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Permintaan adalah benyaknya kesatuan barang yang akan dibeli oleh pembeli pada bermacam-macam tingkat harga dalam jangka waktu tertentu dan syarat tertentu. Permintaan dapat dikatakan juga sebagai keinginan (desire) untuk mendapatkan barang dan jasa yang diikuti oleh kemampuan beli (purchasing power).

Adanya Hukum permintaan ‘’ Bila harga naik maka jumlah barang yang diminta semakin berkurang, sebaliknya bila harga turun maka jumlah barang yang diminta akan bertambah.’’

Teori Permintaan Dalam ekonomi Islam, setiap keputusan ekonomi seorang manusia tidak lepas dari nilai-nilai moral dan agama setiap kegiatan senantiasa dihubungkan kepada syariat. Al-qur’an menyebut ekonomi dengan istilah iqtishad (penghematan, ekonomi), secara literal berarti ‘pertengahan’ atau ‘moderat’. Seorang muslim dilarang diminta untuk mengambil sebuah sikap moderat dalam memperoleh dan menggunakan sumber daya. Dia tidak boleh israf (royal, berlebih-lebihan), tetapi juga dilarang bukhl (pelit).

Dalam ilmu ekonomi tingkat kepuasan (utility function) digambarkan oleh kurva indiferensi (indifference curve). Biasanya yang digambarkan adalah tingkat kepuasan antara dua barang (jasa) yang keduanya memang disukai oleh konsumen.

Darurat didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mengancam keselamatan jiwa. Oleh karena itu, sifat darurat itu adalah sementara maka permintaan barang haram pun hanya bersifat isidentil (waktu tertentu saja).

B.     Saran

Kami sadar, sebagai seorang pelajar yang masih dalam proses pembelajaran, serta masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat positif, guna penulisan karya ilmiah yang lebih baik lagi di masa yang akan datang. Harapan kami, makalah yang sederhana ini, dapat memberikan manfaat khususnya bagi penulis dan umumnya pagi para pembaca.     

 

DAFTAR PUSTAKA

Azwar Karim, Adiwarman. 2012. Teori Ekonomi Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Al Arif, Nur Rianto dan Amalia. 2010. Teori Mikroekonom. Jakarta: Kencana.

Edwin Nasution, Mustafa, dkk. 2006. Ekonomi Islam. Jakarta : Kencana.

Murni, Asfia & Amaliawati, Lia. 2012. Ekonomika Mikro. Bandung : Refika Aditama.

https://dosen.perbanas.id/perilaku-konsumen-fungsi-utilitas-dan-maslahah/

 



[1] Nur Rianto Al Arif dan Euis Amalia. Teori Mikroekonom Ed. Ke-1 Cet. ke-1. Jakarta: Kencana, 2010, hlm. 46

[2] Asfia Murni & Lia Amaliawati. Ekonomika Mikro. Bandung : Refika Aditama, 2012, hlm. 35

[3] Adiwarman Karim. Ekonomi Mikro Islam Ed. Ke-4 Cet. Ke-5. Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2012, hlm. 20

[4] Mustafa Edwin Nasution, Budi Setyanto, dkk. Ekonomi Islam. Jakarta : Kencana, 2006, hlm. 85

[5] Asfia Murni & Lia Amaliawati. Ekonomika Mikro. Bandung : Refika Aditama, 2012, hlm. 36

[6] Mustafa Edwin Nasution, Budi Setyanto, dkk. Ekonomi Islam. Jakarta : Kencana, 2006, hlm. 80

[7] Mustafa Edwin Nasution, Budi Setyanto, dkk. Ekonomi Islam. Jakarta : Kencana, 2006, hlm. 85

[8] Mustafa Edwin Nasution, Budi Setyanto, dkk. Ekonomi Islam. Jakarta : Kencana, 2006, hlm. 88

[9] Nur Rianto Al Arif dan Euis Amalia. Teori Mikroekonom Ed. Ke-1 Cet. ke-1. Jakarta: Kencana, 2010, hlm.47

[10] https://dosen.perbanas.id/perilaku-konsumen-fungsi-utilitas-dan-maslahah/

[11] Adiwarman Karim. Ekonomi Mikro Islam Ed. Ke-4 Cet. Ke-5. Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2012, hlm.86

Halaman Terakhir (Perihal Memilih Untuk Menyudahi)

Ada satu hal yang membuatku ingin terus membuka halaman per halaman. Menantangku untuk mengetahui sesuatu yang akan terjadi berikutnya. Tiap...