Pengertian dumping
Istilah Dumping merupakan istilah yang dipergunakan dalam perdagangan internasional adalah praktik dagang yang dilakukan oleh eksporter dengan menjual komodity di pasar Internasional dengan harga kurang dari nilai yang wajar atau lebih rendah dari harga barang tersebut di negerinya sendiri, atau dari harga jual kepada negara lain pada umumnya.
Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), dumping diartikan dengan sistem penjualan barang di pasaran luar negeri dalam jumlah banyak dengan harga yang rendah sekali (degan tujuan agar harga pembelian di dalam negeri tidak diturunkan sehingga akhirnya dapat menguasai pasaran luar negeri dan dapat menguasai harga kembali).
Menurut Dr. Hamdy Hady dumping adalah suatu kebijakan diskriminasi harga secara internasional (international price discrimination) yang dilakukan dengan menjual suatu komoditi di luar negeri dengan harga yang lebih murah (net of transportation cost, tarrifs, etc.) dibandingkan yang dibayar konsumen di dalam negeri.
Dalam kitab Al-Muwatha Imam Malik berkata : “Barangsiapa menurunkan harga pasar, maka hendaknya ia diusir.”Bila kondisi ini terjadi karena para penjual tidak untuk melipatgandakan keuntungan, maka itu tidak masalah. Namun, apabila mereka menurunkan harga hingga melipatgandakan keuntungan untuk kepentingan sendiri maka ia harus menyesuaikan dengan harga pasar atau ia diusir.
Dari beberapa pengertian diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa dumping adalah suatu siasat yang digunakan dalam perdagangan internasional dimana pedagang melakukan ekspor barang keluar negeri dengan harga yang lebih rendah atau murah daripada didalam negeri.
Dumping dapat terjadi bila dua kondisi bertemu. Pertama, industri bersaing secara tidak sempurna sehingga perusahaan bisa menetapkan harga (price maker), bukan mengambil harga pasar yang diberikan (price taker). Kedua, pasar harus tersegmentasi, sehingga penduduk dalam negri tidak dapat membeli barang yang ditujukan untuk impor berdasarkan kondisi ini perusahaan yang memonopoli akan menemukan bahwa lebih menguntungkan melakukan dumping.
Ada tiga tipe dumping, yaitu sebagai berikut:
Persistant dumping, yaitu kecenderungan monopoli yang berkelanjutan dari suatu perusahaan di pasar domestik untuk memperoleh profit maksimun dengan mentapkan harga yang lebh tinggi di dalam negeri daripada di luar negeri.
Predatory dumping, yaitu tindakan perusahaan untuk menjual barangnya di luar negeri dengan harga yang lebih murah untuk sementara, sehingga dapat menggusur atau mengalahkan perusahaan lain dari persaingan bisnis. Setelah dapat memonopoli pasar, barulah harga kembali dinaikan untuk mendapat profit maksimum.
Sporadic dumping, yaitu tindakan perusahaan dalam menjual produknya di luar negeri dengan harga yang lebih murah secara sporadis dibandingkan harga di dalam negeri karena adanya surplus produksi di dalam negeri.
Negara-negara anggota WTO sebagaimana tercantum dalam Agreement on Trade in Goods tidak menyatakan praktek dumping sebagai praktek yang tidak sehat / tidak adil sehingga perlu dilakukan pelarangan atau tidak membolehkan praktek dumping. Akan tetapi mereka sepakat untuk melakukan upaya menanggulangi praktek dumping yaitu dengan menggunakan instrumen Bea Masuk Anti Dumping, Indonesia merupakan salah satu anggota WTO yang telah meratifikasi Persetujuan Pembentukan WTO melalui Undang-Undang No. 7 tahun 1994. Hal tersebut berarti Indonesia tunduk terhadap ketentuan-ketentuan dalam WTO.
Untuk mengantisipasi adanya praktik dumping, maka diperlukan suatu tindakan balasan yang diberikan oleh negara pengimpor terhadap barang dari negara pengekspor yang melakukan dumping berupa pengenaan bea masuk, hal tersebut dikenal dengan istilah Anti-Dumping. Anti dumping adalah sanksi balasan yang berupa bea masuk tambahan yang dikenakan atas suatu produk yang dijual di bawah harga normal dari produk yang sama di negara pengekspor maupun pengimpor. Dalam pelaksanaan bea masuk anti dumping dan bea masuk imbalan ditetapkan dalam Peraturan pemerintah yaitu PP Nomor 34 tahun 1996 yang mengatur tenhtang persyaratan dan pengenaan bea masuk anti dumping dan bea imbalan.Kemudian berkaitan dengan penyelesaian perselisihan tentang tuduhan dumping terhadap barang dumping atau barang yang mengandung subsidi ditetapkan Komite Anti Dumping Indonesia ( KADI ) berdasarkan surat keputusan dari menteri perindustrian dan perdagangan Nomor 136/MPP/KEP/6/1996 tertanggal 4 juni 1996.
Dumping dalam Pandangan Islam
Dumping bertujuan meraih keuntungan dengan cara menjual barang pada tingkat harga yang lebih rendah dari pada harga yang berlaku dipasaran. Perilaku ini secara tegas dilarang dalam Islam karena dapat menimbulkan kemudaratan bagi masyarakat luas.
Tentang dumping M.A. Mannan mengatakan sebagai berikut:
“Just for the sake of earning a huge profit by not allowing a fall in the prices, this type of trade can hardly be justified in Islam. thus dumping must be discouraged by Muslim countries of the world. thus dumping must be discouraged by Muslim countries of the world” yang dalam bahasa indonesia dapat diartikan “hanya demi mendapatkan keuntungan besar dengan tidak mengijinkan penurunan harga, jenis perdagangan tidak dapat dibenarkan dalam Islam. Politik dumping ini mesti dilarang oleh negri muslim di seluruh Dunia.”
Dumping dalam Islam diharamkan karena dapat menimbulkan madarat. Rasulullah saw. bersabda
لا ضرر ولا ضرار
Umar pernah mengeluarkan orang yang melakukan praktek dumping di pasar sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Mâlik dan al-Baihaqi:
عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ مَرَّ بِحَاطِبِ بْنِ أَبِي بَلْتَعَةَ وَهُوَيَبِيعُ زَبِيبًالَهُ بِالسُّوقِ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ إِمَّا أَنْ تَزِيدَ فِي السِّعْرِ وَإِمَّا أَنْ تُرْفَعَ مِنْ سُوقِنَا
Dari Sa’îd bin al-Musayyab bahwa Umar bin Khattab pernah melewati Hâtib bin Abû Balta’ah yang sedang menjual kismis di pasar lalu Umar bin Khattab berkata kepadanya; “Ada dua pilihan buat dirimu, menaikkan harga atau angkat kaki dari pasar kami.”
Rasulullah SAW. sendiri memberikan perhatian khusus tentang keutamaan perdagangan, dengan berkata,: “Perhatikanlah olehmu sekalian perdagangan, sesungguhnya di dunia perdagangan itu ada Sembilan dari sepuluh pintu rizki” Perdagangan itu wajib bebas, tidak boleh ada yang membatas dengan sesuatu apapun, termasuk para penguasa tidak boleh ikut campur dalam pelaksanaan atau penentuan kebijaksanaan perdagangan. Rasulullah SAW. bersabda,: “Biarkanlah sebagian manusia memberikan rizki kepada sebagian yang lainya.”
Maksud dari hadits diatas adalah biarkanlah masyarakat mengatur sendiri konsep perdagangan mereka. Namun, tetap ada batasan-batasan yang tetap harus diperhatikan. Salah satunya, jangan sampai ada yang dirugikan dalam perdagangan tersebut. Dalam satu hadits Rasulullah berkata,: “Dari Ma’mar bin Abdulloh r.a. dari Rasulullah SAW kata Umar : tidaklah akan memonopoli kecuali orang jahat.”
Dengan demikian, maka terciptalah pasar bebas yang sehat dan tidak merugikan orang lain. Sedangkan praktek monopoli tidak diizinkan, karena dinilai merugikan orang lain. Selain monopoli praktek persaingan yang tidak sehat dan menjual barang dengan harga lebih murah agar mematikan pedagang lain juga dilarang, dalam hal ini adalah dumping.
Islam memberikan kebebasan kepada Pasar. Maka, Islam berharap hukum pasar bisa menentukan harga yang tepat, sesuai dengan permintaan dan penawaran yang ada. Ketika terjadi lonjakan harga di Pasar, salah seorang sahabat meminta Rasul untuk menentukan harga. Kemudian, Rasul menjawab,: “Sesungguhnya Allah lah yang menentukan harga, yang mencabut yang membentangkan, dan yang memberi rizeki. Saya sungguh berharap dapat bertemu Allah dalam keadaan tidak seorang pun dari kalian yang menuntut kepadaku karena kezaliman dalam masalah darah dan harta”.
Dari hadits diatas dapat kita ketahui bahwa Rasulullah SAW. sangat menghormati konsep kebebasan pasar. Alasan lain mengapa beliau menolak untuk menetapkan harga, antara lain karena beliau menganggap bahwa kenaikan harga yang terjadi masih dalam koridor yang bisa dijangkau masyarakat. Kemudian, penetapan harga adalah sesuatu yang sangat sensitif. Apabila kita salah dalam menetapkan harga, maka akan terjadi ketidakadilan baru dalam masyarakat.
Dari Sa’id bin Al-Musayyib, diriwayatkan bahwa Umar bin Al-Khattab bertemu dengan Hathib bin Abi Balta’ah, dia sedang menjual kismis di pasar, maka Umar bin Al-Kahttab berkata kepadanya, ”kamu tambah harganya atau angkat dari pasar kami.” Maksud dari kisah tersebut, Umar bin Al-Khattab melarang seseorang menjual kismis dengan harga dibawah pasaran, karena hal tersebut akan merusak pasar dan menimbulkan ketidakstabilan perekonomian.
Minggu, 19 November 2017
Selasa, 08 Agustus 2017
nama julukan
Dikutip dari buku FIKIH SOSIAL PRAKTIS DARI PESANTREN
karya K.H Mummad Yusuf Chudlori, semoga kutipan saya kali ini bisa bermanfaat
dan menambah wawasan.
Pada halaman 157, tertulis judul “nama julukan”
Tanpa kita sadari, seringkali kita memanggil
teman/saudara,keluarga kita bukan dengan nama asli, tetapi dengan nama julukan.
Entah karena terlalu akrab, karena sering bertemu atau karena memang sebuah
ejekan/hinaan. Tidak dipungkiri, ada yang rela dipanggil dengan nama julukan
pun ada yang tidak rela. Lantas, dalam pandangan islam, bolehkah kita memanggil
seseorang dengan nama julukan? Oke, berikut saya akan menulis jawabannya sesuai
dengan tulisanpada sub bab buku ini. Silahkan dibaca
Sebenarnya memangggil dengan nama julukan sudah ada dari
dulu, bahkan pada saat zaman Rasulullah SAW pun sudah berlaku. Ingat, saat
Rasulullah memanggil istrinya, Aisyah binti Abu Bakar ash-Shiddiq RA, beliau
tidak memanggil dengan nama aslinya, tetapi dengan sebutan “Ya Khumaira” (wahai
yang kemerah-merahan pipinya). Selain itu, Imam Zamakhsyari pernah berkata “sebenarnya
menjuluki seseorang dengan nama yang baik sudah berlaku sejak zaman jahiliyah
hingga zaman islam, namun manusia sendirilah yang mengubah atau memperbaharui dengan
nama-nama yang disesuaikan dengan zaman sekarang ini, tida berpikir nama itu
baik atau jelek, sehingga orang yang rendah dijuluki dengan nama orang
terhormat”
Mengenai julukan sebenarnya diperbolehkan asal orang yang
bersangkutan rela. Sebaliknya, bila yang bersangkutan tidak rela maka hukumnya
tidak boleh. Dalam Al-Iqna, juz II, hlm. 283 dikatakan “haram menjuluki
seseorang dengan nama yang tidak disukai, walaupun orang tersebut memang
kenyataannya demikian,seperti orang yang selalu mengeluarkan air mata, dan
diperbolehkan menjuluki seseorang dengan tujuan untuk mengenalkan pada orang
yang tida kenal, sedangkan menjuluki seseorang dengan nama yang baik bukan
suatu larangan”
Kiranya sobat bisa memahaminya. Kalaupun sobat ingin
memanggil seseorang dengan nama julukan, panggillah dengan nama yang baik.
see you next time, kita bertemu lagi dipostingan selanjutnya
yaaa....
Minggu, 06 Agustus 2017
KONSEP KEBUTUHAN DALAM ISLAM
KONSEP KEBUTUHAN DALAM ISLAM
a. konsep islam tentang kebutuhan
kebutuhan
ini terkait dengan segala sesuatu yang harus dipenuhi agar suatu barang
berfungsi secara sempurna. Sebagai misal, genting dan pintu-jendela merupakan
kebutuhan suatu rumah tinggal. Demikian pula, kebutuhan manusia adalah segala
sesuatu yang diperlukan agar manusia berfungsi secara sempurna, berbeda dan
lebih mulia daripada makhluk-makhluk lainnya,misalnya,baju sebagai penutup
aurat,sepatu sebagai pelindung kaki dan lainnya.
Ajaran
islam tidak melarang manusia untuk memenuhi kebutuhan ataupun keinginannya,
selama dengan pemenuhan tersebut, maka martabat manusia bisa meningkat. Semua
yang ada di bumi ini diciptakan untuk kepentingan manusia,namun manusia
diperintahkan untuk mengonsumsi barang atau jasa yang halal dan baik saja
secara wajar,tidak berlebihan. Pemenuhan kebutuhan ataupun keinginan tetap
dibolehkan selama hal itu mampu menambah maslahah atau tidak mendatangkan
mudharat.
Sebagai
contoh, islam menjelaskan mengenai motivasi atau keinginan seseorang dalam
menikahi seseorang ada empat sebab utama, yaitu karena
kecantikannya,kekayaannya,kedudukannya, dan karena agama-akhlaknya. Namun,islam
menjelaskan bahwa kebutuhan utama dalam mencari pasangan adalah kemuliaan
akhlaknya atau agamanya. Oleh karena itu,seorang muslim diperbolehkan menikahi
wanita karena kecantikan ataupun kekayaannya salaam agama-akhlak nya tetap
menjadi pertimbangan utamanya.[1]
Karakteristik kebutuhan dan keinginan
Karakteristik
|
keinginan
|
Kebutuhan
|
Sumber
|
Hasrat (nafsu) manusia
|
Fitrah manusia
|
Hasil
|
Kepuasan
|
Manfaat dan berkah
|
Ukuran
|
Preferensi atau selera
|
Fungsi
|
Sifat
|
Subjektif
|
Objektif
|
Tuntunan islam
|
Dibatasi/dikendalika
|
dipenuhi
|
b. maslahah vs utilitas
1.
maslahah
Perilaku
konsumen dalam islam menekankan pada konsep dasar bahwa manusia cenderung untuk
memilih barang dan jasa yang memberikan maslahah maksimum. Hal ini sesuai
dengan rasionalitas dalam ekonomi islam bahwa setiap pelaku ekonomi ingin
meningkatkan maslahah yang diperolehnya dalam konsumsi
Dalam
alqur’an kata maslahah banyak disebut dengan istilah manfaat atau manafi’ yang
berarti kebaikan yang terkait dengan material,fisik,dan psikologis. Sehingga
maslahah mengandung pengertian kemanfaatan duniawi dan akhirat.
Konsep
maslahah ini diderivasikan dari konsep maqosidu syariah yang berujung pada
masalih al ‘ibad (kemaslahatan hamba atau manusia).[2]
Menurut imam syatibi, istilah maslahah maknanya lebih luas dari sekedar utility
atau kepuasan dalam terminologi ekonomi konvensional. Maslahah merupakan tujuan
hokum syara’ yang paling utama.
a. maslahah adalah sifat atau kemampuan
barang dan jasa yang mendukung elemen-elemen dan tujuan daar dari keidupan
manusia di muka bumi ini. Ada 5 elemen dasar menurut beliau yakni :
agama,kehidupan,atau jiwa, property atau
harta benda, keyakinan,intelektual,dan keluarga atau keturunan. Dengan kata
lain, maslahah meliputi integrasi manfaat fisik dan unsure-unsur keberkahan.
b. mencukupi kebutuhan dan bukan memenuhi
kepuasan atau keinginan adalah tujuan dari aktivitas ekonomi islam, dan usaha
pencapaian tujuan itu adalah salah satu kewajiban dalam beragama.[3]
2. utility
Secara
bahasa, utility berarti berguna,membantu, atau menguntungkan. Dalam konteks
ekonomi, utilitas diartikan sebagai kegunaan barang yang dirasakan oleh seseorang konsumen dalam
mengkonsumsi suatu barang. Kegunaan ini bisa dirasakan sebagai rasa “tertolong”
dari kesulitan karena mengkonsumsi suatu barang. Karena rasa inilah utilitas sering diartikan
juga sebagai kepuasan yang dirasakan oleh seorang konsumen. Dengan demikian,
kepuasan dan utilitas dianggap sama, meskipun sebenarnya kepuasan adalah akibat
yang ditimbulkan oleh utilitas.[4]
Perbedaan maslahah dan utility (maslahah vs
utility) :
a. konsep maslahah dikoneksikan dengan kebutuhan, sedangkan kepuasan
dikoneksikan dengan keinginan.
b. utility atau kepuasan bersifat individualis, maslahah tidak bisa
dirasakan oleh individu tetapi bisa dirasakan oleh orang lain atau sekelompo
masyarakat.
c. Maslahah relative lebih objektif karena didasarkan pada pertimbangan
yang objektif (criteria tentang halal atau baik) sehingga suatu benda ekonomi
dapat dapat diputuskan apakah memiliki maslahah atau tidak. Sementara utilitas
mendasarkan pada criteria yang lebih subjektif, karenanya dapat berbeda antara
individu satu dengan lainnya.
d. Maslahah individu relative konsisten dengan maslahah social. Sebaliknya,
utilitas individu sering bersebrangan dengan utilitas social.
e. Jika masalah dijadikan tujuan dari seluruh pelaku ekonomi
(konsumen,produsen,distributor), maka semua aktivitas ekonomi masyarakat baik
konsumsi,produsen, dan distributor), maka semua aktivitas ekonomi masyarakat
baik konsumsi,produksi,dan distribusi akan mencapai tujuan yang sama, yaitu
kesejahteraan. Hal ini berbeda dengan utility konsumen mengukurnya dari
kepuasan yang diperoleh konsumen dan keuntungan yang maksimal bagi produsen dan
distributor,sehingga berbeda dengan tujuan yang akan dicapainya.
f. Dalam konteks perilaku konsumen, utility diartikan sebagai konsep
kepuasan konsumen dalam mengkonsumsi barang atau jasa,sedangkan maslahah
diartikan sebagai konsep pemetaan perilaku konsumen berdasarkan asas kebutuhan
dan prioritas.
c. konsep pemilihan dalam konsumsi
ekonomi
islam berpandangan bahwa antara benda yang satu dengan benda yang lainnya bukan
merupakan subtitusi sempurna. Terdapat benda benda ekonomi yang berharga dan
bernilai sehingga benda benda tersebut akan diutamakan dibandingkan pilihan
konsumsi lainnya. Disamping itu, terdapat prioritas dalam ppemenuhan kebutuhan
berdasarkan tingkat kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menunjang kebutuhan yang
islami.[5]
Adapun
referensi konsumsi dan pemenuhan kebutuhan memiliki pola sebagai berikut:[6]
1. Mengutamakan akhirat dari pada dunia
Seorang konsumen muslim akan dihadapkan
pada pilihan antara mengkonsumsi benda ekonomi yamg bersifat duniawi belaka,
dan benda yang bersifat ibadah. Konsumsi untuk ibadah bernilai lebih tinggi
dengan konsumsi untuk duniawi sehingga keduanya bukan merupakan subsitusi yang
sempurna. Konsumsi untuk ibadah lebih tinggi dari pada konsumi untuk duniawi
dikarenakan orientasinya adalah mencapai falah sehingga lebih berorientasi
kepada kehidupan akhirat kelak. Oleh karena itu, konsumsi untuk ibadah pada hakekanya
konsumsi untuk masa depan, sedangkan konsumsi duniawi adalah konsumsi untuk
masa sekarang.
2. Konsisten dalam prioritas dalam
pemenuhan kebutuhan
Kebutuhan manusia dalam konsumsi memiliki
tingkat urgensi yang tidak selalu sama, tetapi terdapat prioritas prioritas
diantara dengan lainnya yang menunjukkan tingkat kemanfaatan dalam pemenuhan.
3. Memperhatikan etika dan norma.
syariah islam memiliki seperangkat etika dan
norma dalam konsumsi islami yang bersumber pada alquran dan sunnah.
4. Tauhid
Dalam perspektif islam, kegiatan konsumsi
dilakukan dalam rangka ibadah. Sehingga senantiasa berada dalam hokum allah
atau syariah. Karena itu, orang mukmin berusaha mencari kenikmatan dengan
mentaati perintahnya dan memuaskan dirinya sendiri dengan barang barang dan
anugerah yang diciptakan allah untuk umat manusia.
5. Adil
Pemanfaatan atas karunia allah tersebut
harus dilakukan secara adil sesuai dengan syariah, sehingga disamping
mendapatkan keuntungan materi, juga sekaligus merasakan
kepuasan spiritual.
6. Amanah
Manusia merupakan khalifah atau pengemban
amanat allah. Manusia diberi kekuasaan untuk melaksanakan tuga kekhalifahan ini
dan untuk mengambil keuntungan dan manfaat ebanyak banyaknya atas ciptaan
allah. Dalam hal melakukan konsumsi, manusia dapat berkehendak bebeas, tetapi
akan mempertanggung jawabkan atas kebebasan tersebut baik terhadap keseimbangan
alam, masyarakat maupun diri sendiri
diakherat kelak.
7. Halal
Dalam kerangka acuhan islam, barang barangyang dapat dikonsumsi hanyalahbarang
barang yang menunjukkan nilai nilai kebaikan, keindahan, serta akan menimbulkan
kemaslahatan umat baik secara materi maupun spiritual.
8. Sederhana
Islam sangat melarang perbuatan yang melampaui batas termasuk
pemborosan dan berlebih-lebihan ( bermewah mewahan), yaitu membuang-buang harta
dan menghambur hamburkannya tanpa faedah serta manfaat dan hanya memperturutkan nafsu semata.
d. pengalokasian sumber
untuk kebutuhan
Pada
dasarnya tujuan hidup setiap manusia adalah untuk mencapai kesejahtraan
meskipun manusia memaknai kesejahtraan dengan persepektif yang berbeda. Sebagian besar paham ekonomi memaknai kesejahtraan
material duniawi. Dalam upaya mencapai kesejahtraan manusia menghadapi
masalah, yaitu kesenjangan antara sumber daya yang ada dengan kebutuhan
manusia. Allah menciptakan alam semesta ini dengan berbagai sumber daya yang
memadai untuk mencukupi kebutuhan manusia.
Dalam upaya mencapai kesejahtraan manusia menghadapi
masalah, yaitu kesenjangan antara sumberdaya yang ada dengan kebutuhan manusia.
Allah menciptakan alam semesta ini dengan berbagai sumberdaya yang memadai
untuk mencukupi kebutuhan manusia . keterbatasan manusia , serta munculnya
konflik anara tujuan duniawi dan ukrawi menyebabkan terjadinya kelangkaan
relative.
Keterbatasan manusia menyebabkan banyak hal terasa
langka (scare). Kelangkaan mencakupi kuantitas, kualitas, tempat dan
waktu. Sesuatu tidak akan langka jika jumlah (kuantitas) yang tersedia sesuai
dengan kebutuhan berkualitas baik, tersedia dimana saja (di setiap
tempat) dan kapan saja (waktu) dibutuhkan.
Teori ekonomi mikro berusaha untuk menjelaskan apakah
masalah kelangkaan dan alokasi sumber daya yang telah ditentukan yang
efisien. Ekonomi efisiensi melibatkan efisiensi dalam konsumsi, efisiensi
dalam produksi dan distribusi dan atas segala efisiensi ekonomi.
Mengingat sumber daya ekonomi bersifat langka,
pengalokasiannya harus memberi manfaat bagi manusia, yaitu diantaranya, sumber
daya alam, sumber daya modal, sumber daya manusia.
Imam
Ali r.a diriwayatkan pernah mengatakan “Janganlah kesejahteraan salah seorang
di antara kamu meningkat namun pada saat yang sama kesejahteraan yang lain
menurun.” Dalam
ekonomi konvensional keadaan ini dikenal sebagai efficient allocation of
goods yaitu alokasi barang-barang dikatakan efisien bila tidak seorang pun
dapat meningkatkan utilitynya tanpa mengurangi utility orang lain.
Efisiensi alokasi hanya menjelaskan bahwa bila semua
sumber daya yang ada habis teralokasi, maka alokasi yang efisien tercapai.
Tetapi tidak mengatakan apa pun perihal apakah alokasi tersebut adil. Dalam
konsep ekonomi islam, adil adalah “tidak menzalami dan tidak dizalami.” Bisa
jadi “sama rasa sama rata” tidak adil dalam pandangan Islam karena tidak
memberikan insentif bagi orang yang bekerja keras.
Untuk itu Pemerintah harus membuat kebijakan-kebijakan
agar alokasi sumber daya ekonomi dilaksanakan secara efisien. Pemerintah harus
membuat kebijakan-kebijakan agar kekayaan terdistribusi secara baik dalam
masyarakat, misalnya melalui Perpajakan, Subsidi, Pengentasan kemiskinan,
Transfer pnghasilan dari daerah kaya ke daerah miskin, Bantuan
pendidikan,Bantuan kesehatan, dan lain-lain.
Ekonom Islam mazhab mainstream menggunakan definisi
efisiensi yang sama dengan definisi ekonomi neoklasik, di mana persoalan
efisiensi diwujudkan sebagai masalah optimasi. Pada perilaku konsumen tunggal,
efisiensi dicapai dengan mengalokasikan anggaran tertentu pada kombinasi barang
dan jasa yang memaksimumkan kegunaan konsumen. Pada kasus produsen tunggal,
optimasi bisa dicapai melalui dua jalur: penggunaan kombinasi input yang
memaksimasi laba, atau; penggunaan input yang meminimumkan biaya untuk mencapai
tingkat produksi tertentu.
Dari penjelasan mengenai teori alokasi diatas dapat di
analisis bahwa pandangan ekonomi islam telah terfokus pada masalah
pengalokasian sumber daya dengan adanya campur tangan pemerintah agar alokasi
sumber daya dapat terdistribusi dengan baik. Mengingat sumber daya ekonomi
bersifat langka, pengalokasiannya harus memberi manfaat bagi manusia.
[1] Pusat pengkajian dan pengembangan ekonomi islam (P3EI)
universitas islam Indonesia Yogyakarta, Ekonomi Islam, (Jakarta:PT. Raja
GrafindoPersada,2007), 130-131.
[3]
Sadono Sukirno,Mikro
Ekonomi Teori Pengantar Edisi Ketiga, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,
2013), 154.
[5] M. Nur Rianto
Al Arif, dan Euis Amalia. Teori Mikroekonomi, (Jakarta:kencana,2010), 110.
Langganan:
Postingan (Atom)
Halaman Terakhir (Perihal Memilih Untuk Menyudahi)
Ada satu hal yang membuatku ingin terus membuka halaman per halaman. Menantangku untuk mengetahui sesuatu yang akan terjadi berikutnya. Tiap...
-
LAPORAN INDIVIDUAL KULIAH KERJA NYATA ANGKATAN XXV POTENSI MASYARAKAT DESA KRASAK DALAM PENGEMBANGAN PEREKONOMIAN GUNA LEBIH MEMAJU...
-
Ada satu hal yang membuatku ingin terus membuka halaman per halaman. Menantangku untuk mengetahui sesuatu yang akan terjadi berikutnya. Tiap...