Kamis, 24 Juni 2021

Perkawinan Beda Agama di Berbagai Negara, bagaimana di Indonesia?

Disusun Oleh: Sofiyatun Nur Khasanah

Kondisi yang plural terdiri dari perbedaan suku, ras, dan agama di suatu negara membuat warga negaranya harus hidup berdampingan dengan yang lain, dari keadaan plural inilah tak jarang dari mereka merasakan jatuh cinta antar umat beragama yang kemudian hendak direalisasikan dalam perkawinan beda agama. Perkawinan beda agama sampai saat ini masih menjadi kontroversi tersendiri di suatu negara. Ada negara yang tegas melarang, namun tak sedikit pula yang masih memberi peluang untuk melakukan perkawinan beda agama dengan beberapa ketentuan yang dipersulit. 

Perkawinan beda agama diberbagai negara mempunyai peraturannya sendiri. Melalui peraturan dan perundang-undangannya masing-masing negara mengeluarkan regulasi bahwa perkawinan beda agama itu dilarang. Pelarangan ini bersifat mutlak bagi wanita muslim yang hendak menikahi laki-laki non-muslim. Namun untuk laki-laki muslim diberi pengecualian boleh menikahi wanita non-muslim dalam keadaan tertentu, yaitu wanita tersebut haruslah wanita dari golongan ahli kitab (pengikut agama Yahudi dan Nasrani sebelum kedatangan agama Islam). Beberapa negara yang mengeluarkan regulasi tersebut adalah Afghanistan, Algeria, Bangladesh, Bahrain (Pasal 11 Undang-Undang Nomor 19 tahun 2009), Brunei, Djibouti, Egypt, Irak, Iran, Jordan, Kuwait, Libya (Pasal 12 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1984 tentang Hukum Keluarga), Malaysia,Maroko (Pasal 39 ayat (4) Undang-Undang Status Pribadi tahun 2004), Oman, Qatar, Sudan, Uni Emirat Arab (Pasal 47 Undang-Undang Nomor 28 tahun 2005), Gaza, Lebanon, Maladewa, Pakistan, Arab Saudi, Somalia, Tunisia, Yaman, dan Indonesia.

Di Malaysia misalnya, laki-laki muslim diperbolehkan menikahi wanita non-muslim selagi wanita tersebut adalah golongan dari ahli kitab. Di negara Malaysia, kriteria dari ahli kitab sendiri diperketat yaitu seorang wanita yang nenek moyangnya berasal dari Bani Ya’qub, seorang wanita yang nenek moyangnya adalah orang Kristen sebelum kenabian Nabi Muhammad, seorang wanita Yahudi yang nenek moyangnya adalah orang Yahudi sebelum kenabian Nabi Isa. Pengadilan Malaysia mengatakan bahwa selama tidak ada larangan dalam suatu agama untuk melakukan pernikahan beda agama, maka sah-sah saja dilakukan. Di Libya, melalui Pasal 12 Undang-Undang nomor 10 Tahun 1984 tentang Hukum Keluarga mengatur bahwa akad nikah dianggap batal jika seorang wanita muslim menikah dengan pria non-muslim, dan seoramg pria muslim yang menikahi wanita non-muslim bukan ahli kitab.

Kemudian di Brunei, pada awalnya pernikahan beda agama antara laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab itu diperbolehkan dan diperketat yaitu Kristen dan Yahudi yang merupakan keturunan Israel. Namun menurut laporan Departemen Luar Negeri pada 2012,  pernikahan antara Muslim dengan non-Muslim tidak di izinkan, dan non-Muslim harus masuk Islam terlebih dahulu, dalam artian perkawinan beda agama mutlak dilarang tanpa pengecualian. Sementara itu di Iraq, Pasal 17 Undang-Undang Nomor 188 Tahun 1959 menyatakan perkawinan antara perempuan Muslim dengan dilakukan non-Muslim tidak sah. Pasal 18 lebih lanjut mensyaratkan bahwa pasangan suami istri haruslah muslim agar pernikahan itu sah. Ini berarti perkawinan beda agama di Iraq mutlak dilarang. Rata-rata dari semua negara yang dibahas dalam jurnal sebelumnya, sebagian besar negara memperbolehkan seorang pria muslim menikahi wanita non-muslim yang ahli kitab dan melarang pernikahan antar wanita muslim dengan pria non-muslim, kecuali pria tersebut harus masuk Islam terlebih dahulu. Lantas bagaimana perkawinan beda agama di Indonesia?

Menurut ulama kontemporer yaitu Quraish Shihab, perkawinan beda agama tidak diperbolehkan dan dilarang. Adapun dasar hukum yang digunakan untuk ber-istinbath atas permasalahan tersebut adalah surat al-Baqarah ayat 221. Pandangan Quraish Shihab menurut dalam ayat ini adalah apabila laki-laki muslim menikahi wanita selainahli kitab dilarang, namun jika wanita tersebut merupakan ahli kitab  masih diperbolehkan, atau dalam kaidah hukum Islam dikategorikan mubah. Hal ini sesuai dengan surat al-Maidah ayat 5. Dalam surat al-Maidah ayat 5 Quraish Shihab memberi patokan bahwa hanya pria muslim saja yang boleh menikahi wanita ahli kitab, dan tidak berlaku sebaliknya yaitu wanita muslim menikahi pria ahli kitab sebagaimana yang terkandung dalam surat Al-Mumtahanah ayat 10 (yang melarang wanita muslimah menikahi pria kafir baik ahli kitab maupun musyrik).[1]

Yang dimaksud dengan ahli kitab menurut Quraish Shihab hanya mencakup dua golongan saja, yaitu Yahudi dan Nasrani. Pemahaman dan pendapat beliau tidak serta merta menafsirkan untuk memperbolehkan perkawinan muslim dengan wanita ahli kitab kecuali dengan kriteria ahli kitab itu harus benar-benar berpegang pada agama samawi, wanita ahli kitab tersebut adalah wanita yangt muhsonat, yaitu mampu menjaga diri dari perbuatan zina dan perbuatan keji lainnya.[2] Quraish Shihab menjelaskan bahwa ahli kitab yang boleh dikawini adalah wanita yang terhormat, yang selalu menjaga kesuciannya, dan sangat menghormati serta mengagungkan kitab suci.

Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, pada Pasal 2 ayat (1) menyatakan “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut masing-masing agama dan kepercayaannya itu”. Bagi sebagian para ahli hukum, pasal ini masih multitafsir sehingga terjadi adanya kekosongan hukum dan masih bisa melakukan perkawinan beda agama dengan menggunakan Perkawinan Campuran dalam GHR sebagai alternatifnya. Namun pasca putusan MK No. 68/PUU/XII/2014 yang memutuskan menolak permohonan uji materi (Judicial Review) Pasal 2 ayat (1), maka perkawinan beda agama secara mutlak tidak diperbolehkan. Putusan ini sudah sesuai dengan nilai-nilai agama, nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila, dan konstitusi UUD 1945. Eksistensi putusan ini telah mampu menampilkan kekuatan hukum larangan beda agama sebagaimana dijelaskan dalam tafsiran Pasal 2 ayat (1) UUP.  Sahnya perkawinan yang didasarkan pada hukum agama (Islam) juga terdapat dalam Kompilasi Hukm Islam Pasal 40 (c) dan Pasal 44, Pasal 8 huruf (f), Pasal 118 KHI dan fatwa MUI Nomor:  4/MUNAS VII/MUI/8/2005. Keputusan Seminar perkawinan beda agama di Universitas Katolik Atmajaya tanggal 21Maret 1987, pada prinsipnya gereja melarang perkawinan campur beda agama.

Kesimpulan:

Perkawinan beda agama di Indonesia memang begitu sulit untuk dilakukan, untuk orang beragama Islam misalnya, pasangan yang hendak menikah beda agama menemui kesulitan untuk mendapat persetujuan KUA. Sehingga tidak jarang banyak pasangan nikah beda agama yang lebih memilih mnelangsungkan pernikahannya diluar negeri. 

Perkawinan beda agama bertentangan dengan tujuan hukum Islam, yakni tidak dapat memelihara agama dan keturunan, sebagai mana yang tertuang dalam maqashid al-syariah. Perkawinan beda agama juga sering menimbulkan banyak terjadinya konflik. Apabila terjadi distoleransi, maka memunculkan sengketa perkawinan yang berujung pada perceraian. Perkawinan yang satu agama saja sering terjadi konflik, apalagi yang berbeda agamanya.  Perkawinan beda agama akan mendatangkan banyak mafsadat nantinya, dan itu harus dihindarkan. Terdapat suatu kaidah yang bisa dijadikan solusi yaitu kaidah “dar’u al-mafasid muqaddamun ‘ala jalbi al-mashalih” yaitu mencegah kemafsadatan diutamakan daripada mendatangkan kemashlahatan, dan bisa menggunakan kaidah “apabila halal dan haram berkumpul, maka dimenangkan yang haram”.



[1] Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah III (Jakarta: Lentera, 2003), 28.

[2] Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah I (Jakarta: Lentera, 2003), 209.


Senin, 03 Mei 2021

Kebebasan Berpendapat dalam Undang-Undang Nomor 11Tahun 2008

 

Kebebasan berpendapat yang sering disurakan oleh masyarakat akhir-akhir ini menjadi angin segar dalam mengeluarkan pikirannya serta gagasannya. Terlebih lagi setiap individu mempunya hak tersebut yang memang tidak bisa dihalangi, dihambat apalagi dibatasi. Terlebih pada era sekarang, perkembangan teknologi dan informasi pada era digital ini sangat signifikan kemajuannya. Dengan adanya era digital ini, masyarakat mempunyai banyak peluang dan kesempatan dalam mengemukakan pendapatnya di muka umum. Tidak terkecuali pada dunia media sosial, pada kondisi ini masyarakat bebas mengeluarkan pendapat serta kritikannya di duni maya, dimana bisa dilakukan kapan saja dan dimana saja. Namun jika melihat realita yang ada, kebebasan berpendapat di Indonesia hampir tidak terealisasikan sebagaimana mestinya. Semua kegiatan kebebasan berpendapat sangat tidak berjalan sehingga menghambat masyarakat untuk melakukan hak nya.

Dengan adanya internet sekarang ini, seseorang dapat melakukan hal apapun tanpa perlu batasan, mereka dapat melakukan komunikasi, mencari tahu informasi, bahkan menyampaikan pendapatnya dimuka umum tanpa ruang dan waktu. Akan tetapi teknologi yang semakin berkembang juga menjadi salah satu celah seseorang melakukan kejahatan-kejahatan berbasis online, yang mana dapat merugikan pihak-pihak terkait. Lalu bagaimana dengan kebebebasan berpendapat?

Perjalanan hukum akhir-akhir ini banyak sekali menimbulkan fenomena seseorang yang terjerat UUITE karena pendapat atau kritikan mereka dimedia sosial. UU ITE ini merupakan payung hukum di Indonesia yang dicetuskan pertama kali pada era presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dimana yang sudah diketahui oleh masyarakat luas saat disahkannya UU ITE ini sangat banyak menuai kontroversi.

Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 yang menyatakan: Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya ditetapkan degna undang-undang. Hal ini juga sejalan dengan ketentuan Pasal 19 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM) yang berbunyi “setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas (wilayah).” Ketentuan ini dimaksudkan agar adanya perlindungan dan jaminan akan kebebasan berpendapat di Indonesia.

Seiring kemajuan teknologi dan dunia digital, dimana tidak ada lagi sekat-sekat yang menjadi batasan manusia dalam berkomunikasi, seringkali manusia lupa menghargai dan menghormati hak orang lain. Dulunya hukum pada media sosial hanya dibentuk berdasarkan tuntutan zaman, meskipun sebenarnya terkait perkara pidana sebelum ada UU ITE telah diatur dalam KUHP, namun pembatasan-pembatasan dirasa tidak berpengaruh bagi masyarakat Indonesia. Setelah lahirnya UU ITE, diharapkan permasalahan dan pelanggaran di media sosial yang berakibat merugikan hak orang lain dapat diatasi dan dipantau dengan mudah. Karena bagaimanapun, UU ITE memberikan kepastian hukum dari berbagai macam persengketaan di media sosial yang kemungkinan semakin hari semakin kompleks, juga sebagai antisipasi agar dalam menggunakan media sosial masyarakat akan berhati-hati dan lebih bijaksana lagi.

Akan tetapi pada beberapa kondisi pula, UU ITE dianggap sebagai regulasi yang membatasi ruang gerak masyrakat dalam menyampaikan pendapat ataupun kritikan di media sosial. Sudah banyak sekali kasus-kasus yang mejerat seseorang atas kebebsan berpendapat mereka. Alih-alih ingin membela diri dan menyalurkan apa yang ada dipikirannya, justru malah diberi bom yang tidak disanga-sangka dengan dijadikan sebagai terlapor dalam kepolisian.

Namun disisi lain, negara pun mempunyai 3 kewajiban kepada warganegaranya, yaitu melindungi, menghormati, memenuhi. Yang dimaksud kebebasan disini adalah kebebasan yang terbatas, yaitu kebebasan yang diatur dalam perundang-undangan sehingga tidak menganggu hak orang lain. Karena sesuai kodrat manusia, setiap manusia mempunyai hak yang harus dijunjung tinggi, dihormati,dan dihargai. Oleh karena itu Indonesia sebagai negara hukum sangat memperhatikan dan melindungi apa yang sudah menjadi hak warga negaranya.

UU ITE berfungsi sebagai pembatas dalam hal ini, yang mana digunakan sebagai langkah preventif agar masyarakat lebih bijak dan berhati-hati lagi dalam bermedia sosial. Pada DUHAM Pasal 29 ayat (2) dijelaskan “dalam menjalankan hak-hak kebebasan-kebebasannya, seorang harus tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang yang tujuan semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormtan yang tepat terhadap hak-hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil dalam hal kesusilaan, ketertiban, dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.” Sehingga dapat dipahami bahwa pembatasan kebebasan berpendapat yang ditetapkan pemerintah Indonesia melalui UU ITE ini bukanlah suatu pelanggaran HAM karena hal tersebut dimungkinkan sebagaimana diatur dalam DUHAM sepanjang diatur dalam peraturan perundang-undangan guna memberikan jaminan perlindungan dan penegakan HAM orang lain. Karena biar bagaimanapun dalam suatu kebebasan, didalamnya akan selalu terdapat hak orang lain yang harus dilindungi.

 

 

Halaman Terakhir (Perihal Memilih Untuk Menyudahi)

Ada satu hal yang membuatku ingin terus membuka halaman per halaman. Menantangku untuk mengetahui sesuatu yang akan terjadi berikutnya. Tiap...