Selasa, 08 Agustus 2017

nama julukan



Dikutip dari buku FIKIH SOSIAL PRAKTIS DARI PESANTREN karya K.H Mummad Yusuf Chudlori, semoga kutipan saya kali ini bisa bermanfaat dan menambah wawasan.
Pada halaman 157, tertulis judul “nama julukan” 


Tanpa kita sadari, seringkali kita memanggil teman/saudara,keluarga kita bukan dengan nama asli, tetapi dengan nama julukan. Entah karena terlalu akrab, karena sering bertemu atau karena memang sebuah ejekan/hinaan. Tidak dipungkiri, ada yang rela dipanggil dengan nama julukan pun ada yang tidak rela. Lantas, dalam pandangan islam, bolehkah kita memanggil seseorang dengan nama julukan? Oke, berikut saya akan menulis jawabannya sesuai dengan tulisanpada sub bab buku ini. Silahkan dibaca


Sebenarnya memangggil dengan nama julukan sudah ada dari dulu, bahkan pada saat zaman Rasulullah SAW pun sudah berlaku. Ingat, saat Rasulullah memanggil istrinya, Aisyah binti Abu Bakar ash-Shiddiq RA, beliau tidak memanggil dengan nama aslinya, tetapi dengan sebutan “Ya Khumaira” (wahai yang kemerah-merahan pipinya). Selain itu, Imam Zamakhsyari pernah berkata “sebenarnya menjuluki seseorang dengan nama yang baik sudah berlaku sejak zaman jahiliyah hingga zaman islam, namun manusia sendirilah yang mengubah atau memperbaharui dengan nama-nama yang disesuaikan dengan zaman sekarang ini, tida berpikir nama itu baik atau jelek, sehingga orang yang rendah dijuluki dengan nama orang terhormat”

Mengenai julukan sebenarnya diperbolehkan asal orang yang bersangkutan rela. Sebaliknya, bila yang bersangkutan tidak rela maka hukumnya tidak boleh. Dalam Al-Iqna, juz II, hlm. 283 dikatakan “haram menjuluki seseorang dengan nama yang tidak disukai, walaupun orang tersebut memang kenyataannya demikian,seperti orang yang selalu mengeluarkan air mata, dan diperbolehkan menjuluki seseorang dengan tujuan untuk mengenalkan pada orang yang tida kenal, sedangkan menjuluki seseorang dengan nama yang baik bukan suatu larangan”

Kiranya sobat bisa memahaminya. Kalaupun sobat ingin memanggil seseorang dengan nama julukan, panggillah dengan nama yang baik.
see you next time, kita bertemu lagi dipostingan selanjutnya yaaa....

Minggu, 06 Agustus 2017

KONSEP KEBUTUHAN DALAM ISLAM





KONSEP KEBUTUHAN DALAM ISLAM
a. konsep islam tentang kebutuhan
            kebutuhan ini terkait dengan segala sesuatu yang harus dipenuhi agar suatu barang berfungsi secara sempurna. Sebagai misal, genting dan pintu-jendela merupakan kebutuhan suatu rumah tinggal. Demikian pula, kebutuhan manusia adalah segala sesuatu yang diperlukan agar manusia berfungsi secara sempurna, berbeda dan lebih mulia daripada makhluk-makhluk lainnya,misalnya,baju sebagai penutup aurat,sepatu sebagai pelindung kaki dan lainnya.
            Ajaran islam tidak melarang manusia untuk memenuhi kebutuhan ataupun keinginannya, selama dengan pemenuhan tersebut, maka martabat manusia bisa meningkat. Semua yang ada di bumi ini diciptakan untuk kepentingan manusia,namun manusia diperintahkan untuk mengonsumsi barang atau jasa yang halal dan baik saja secara wajar,tidak berlebihan. Pemenuhan kebutuhan ataupun keinginan tetap dibolehkan selama hal itu mampu menambah maslahah atau tidak mendatangkan mudharat.
            Sebagai contoh, islam menjelaskan mengenai motivasi atau keinginan seseorang dalam menikahi seseorang ada empat sebab utama, yaitu karena kecantikannya,kekayaannya,kedudukannya, dan karena agama-akhlaknya. Namun,islam menjelaskan bahwa kebutuhan utama dalam mencari pasangan adalah kemuliaan akhlaknya atau agamanya. Oleh karena itu,seorang muslim diperbolehkan menikahi wanita karena kecantikan ataupun kekayaannya salaam agama-akhlak nya tetap menjadi pertimbangan utamanya.[1]






Karakteristik kebutuhan dan keinginan

Karakteristik
keinginan
Kebutuhan
Sumber
Hasrat (nafsu) manusia
Fitrah manusia
Hasil
Kepuasan
Manfaat dan berkah
Ukuran
Preferensi atau selera
Fungsi
Sifat
Subjektif
Objektif
Tuntunan islam
Dibatasi/dikendalika
dipenuhi


b. maslahah vs utilitas
            1. maslahah
            Perilaku konsumen dalam islam menekankan pada konsep dasar bahwa manusia cenderung untuk memilih barang dan jasa yang memberikan maslahah maksimum. Hal ini sesuai dengan rasionalitas dalam ekonomi islam bahwa setiap pelaku ekonomi ingin meningkatkan maslahah yang diperolehnya dalam konsumsi
            Dalam alqur’an kata maslahah banyak disebut dengan istilah manfaat atau manafi’ yang berarti kebaikan yang terkait dengan material,fisik,dan psikologis. Sehingga maslahah mengandung pengertian kemanfaatan duniawi dan akhirat.
            Konsep maslahah ini diderivasikan dari konsep maqosidu syariah yang berujung pada masalih al ‘ibad (kemaslahatan hamba atau manusia).[2] Menurut imam syatibi, istilah maslahah maknanya lebih luas dari sekedar utility atau kepuasan dalam terminologi ekonomi konvensional. Maslahah merupakan tujuan hokum syara’ yang paling utama.
a. maslahah adalah sifat atau kemampuan barang dan jasa yang mendukung elemen-elemen dan tujuan daar dari keidupan manusia di muka bumi ini. Ada 5 elemen dasar menurut beliau yakni :
agama,kehidupan,atau jiwa, property atau harta benda, keyakinan,intelektual,dan keluarga atau keturunan. Dengan kata lain, maslahah meliputi integrasi manfaat fisik dan unsure-unsur keberkahan.
b. mencukupi kebutuhan dan bukan memenuhi kepuasan atau keinginan adalah tujuan dari aktivitas ekonomi islam, dan usaha pencapaian tujuan itu adalah salah satu kewajiban dalam beragama.[3]

2. utility
            Secara bahasa, utility berarti berguna,membantu, atau menguntungkan. Dalam konteks ekonomi, utilitas diartikan sebagai kegunaan barang  yang dirasakan oleh seseorang konsumen dalam mengkonsumsi suatu barang. Kegunaan ini bisa dirasakan sebagai rasa “tertolong” dari kesulitan karena mengkonsumsi suatu barang.  Karena rasa inilah utilitas sering diartikan juga sebagai kepuasan yang dirasakan oleh seorang konsumen. Dengan demikian, kepuasan dan utilitas dianggap sama, meskipun sebenarnya kepuasan adalah akibat yang ditimbulkan oleh utilitas.[4]

Perbedaan maslahah dan utility (maslahah vs utility) :
a.       konsep maslahah dikoneksikan dengan kebutuhan, sedangkan kepuasan dikoneksikan dengan keinginan.
b.      utility atau kepuasan bersifat individualis, maslahah tidak bisa dirasakan oleh individu tetapi bisa dirasakan oleh orang lain atau sekelompo masyarakat.
c.       Maslahah relative lebih objektif karena didasarkan pada pertimbangan yang objektif (criteria tentang halal atau baik) sehingga suatu benda ekonomi dapat dapat diputuskan apakah memiliki maslahah atau tidak. Sementara utilitas mendasarkan pada criteria yang lebih subjektif, karenanya dapat berbeda antara individu satu dengan lainnya.
d.      Maslahah individu relative konsisten dengan maslahah social. Sebaliknya, utilitas individu sering bersebrangan dengan utilitas social.
e.       Jika masalah dijadikan tujuan dari seluruh pelaku ekonomi (konsumen,produsen,distributor), maka semua aktivitas ekonomi masyarakat baik konsumsi,produsen, dan distributor), maka semua aktivitas ekonomi masyarakat baik konsumsi,produksi,dan distribusi akan mencapai tujuan yang sama, yaitu kesejahteraan. Hal ini berbeda dengan utility konsumen mengukurnya dari kepuasan yang diperoleh konsumen dan keuntungan yang maksimal bagi produsen dan distributor,sehingga berbeda dengan tujuan yang akan dicapainya.
f.       Dalam konteks perilaku konsumen, utility diartikan sebagai konsep kepuasan konsumen dalam mengkonsumsi barang atau jasa,sedangkan maslahah diartikan sebagai konsep pemetaan perilaku konsumen berdasarkan asas kebutuhan dan prioritas.

c. konsep pemilihan dalam konsumsi
            ekonomi islam berpandangan bahwa antara benda yang satu dengan benda yang lainnya bukan merupakan subtitusi sempurna. Terdapat benda benda ekonomi yang berharga dan bernilai sehingga benda benda tersebut akan diutamakan dibandingkan pilihan konsumsi lainnya. Disamping itu, terdapat prioritas dalam ppemenuhan kebutuhan berdasarkan tingkat kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menunjang kebutuhan yang islami.[5]
     Adapun referensi konsumsi dan pemenuhan kebutuhan memiliki pola sebagai berikut:[6]
1. Mengutamakan akhirat dari pada dunia
Seorang konsumen muslim akan dihadapkan pada pilihan antara mengkonsumsi benda ekonomi yamg bersifat duniawi belaka, dan benda yang bersifat ibadah. Konsumsi untuk ibadah bernilai lebih tinggi dengan konsumsi untuk duniawi sehingga keduanya bukan merupakan subsitusi yang sempurna. Konsumsi untuk ibadah lebih tinggi dari pada konsumi untuk duniawi dikarenakan orientasinya adalah mencapai falah sehingga lebih berorientasi kepada kehidupan akhirat kelak. Oleh karena itu, konsumsi untuk ibadah pada hakekanya konsumsi untuk masa depan, sedangkan konsumsi duniawi adalah konsumsi untuk masa sekarang.

2. Konsisten dalam prioritas dalam pemenuhan kebutuhan
 Kebutuhan manusia dalam konsumsi memiliki tingkat urgensi yang tidak selalu sama, tetapi terdapat prioritas prioritas diantara dengan lainnya yang menunjukkan tingkat kemanfaatan dalam pemenuhan.
3. Memperhatikan etika dan norma.
 syariah islam memiliki seperangkat etika dan norma dalam konsumsi islami yang bersumber pada alquran dan sunnah.
4. Tauhid
Dalam perspektif islam, kegiatan konsumsi dilakukan dalam rangka ibadah. Sehingga senantiasa berada dalam hokum allah atau syariah. Karena itu, orang mukmin berusaha mencari kenikmatan dengan mentaati perintahnya dan memuaskan dirinya sendiri dengan barang barang dan anugerah yang diciptakan allah untuk umat manusia.
5. Adil
Pemanfaatan atas karunia allah tersebut harus dilakukan secara adil sesuai dengan syariah, sehingga disamping mendapatkan keuntungan materi, juga sekaligus merasakan
kepuasan spiritual.
6. Amanah
Manusia merupakan khalifah atau pengemban amanat allah. Manusia diberi kekuasaan untuk melaksanakan tuga kekhalifahan ini dan untuk mengambil keuntungan dan manfaat ebanyak banyaknya atas ciptaan allah. Dalam hal melakukan konsumsi, manusia dapat berkehendak bebeas, tetapi akan mempertanggung jawabkan atas kebebasan tersebut baik terhadap keseimbangan alam,  masyarakat maupun diri sendiri diakherat kelak.
7. Halal
Dalam kerangka acuhan islam, barang barangyang dapat dikonsumsi hanyalahbarang barang yang menunjukkan nilai nilai kebaikan, keindahan, serta akan menimbulkan kemaslahatan umat baik secara materi maupun spiritual.
8. Sederhana
Islam sangat melarang perbuatan yang melampaui batas termasuk pemborosan dan berlebih-lebihan ( bermewah mewahan), yaitu membuang-buang harta dan menghambur hamburkannya tanpa faedah serta manfaat  dan hanya memperturutkan nafsu semata.
d. pengalokasian sumber  untuk kebutuhan
Pada dasarnya tujuan hidup setiap manusia adalah untuk mencapai kesejahtraan meskipun manusia memaknai kesejahtraan dengan persepektif yang berbeda. Sebagian besar paham ekonomi memaknai kesejahtraan material duniawi.  Dalam upaya mencapai kesejahtraan manusia menghadapi masalah, yaitu kesenjangan antara sumber daya yang ada dengan kebutuhan manusia. Allah menciptakan alam semesta ini dengan berbagai sumber daya yang memadai untuk mencukupi kebutuhan manusia.
Dalam upaya mencapai kesejahtraan manusia menghadapi masalah, yaitu kesenjangan antara sumberdaya yang ada dengan kebutuhan manusia. Allah menciptakan alam semesta ini dengan berbagai sumberdaya yang memadai untuk mencukupi kebutuhan manusia . keterbatasan manusia , serta munculnya konflik anara tujuan duniawi dan ukrawi menyebabkan terjadinya kelangkaan relative.
Keterbatasan manusia menyebabkan banyak hal terasa langka (scare). Kelangkaan mencakupi kuantitas, kualitas, tempat dan waktu. Sesuatu tidak akan langka jika jumlah (kuantitas) yang tersedia sesuai dengan kebutuhan  berkualitas baik, tersedia dimana saja (di setiap tempat) dan kapan saja (waktu) dibutuhkan.
Teori ekonomi mikro berusaha untuk menjelaskan apakah masalah kelangkaan dan alokasi sumber daya yang telah ditentukan yang efisien. Ekonomi efisiensi melibatkan efisiensi dalam konsumsi, efisiensi dalam produksi dan distribusi dan atas segala efisiensi ekonomi. 
Mengingat sumber daya ekonomi bersifat langka, pengalokasiannya harus memberi manfaat bagi manusia, yaitu diantaranya, sumber daya alam, sumber daya modal, sumber daya manusia.
Imam Ali r.a diriwayatkan pernah mengatakan “Janganlah kesejahteraan salah seorang di antara kamu meningkat namun pada saat yang sama kesejahteraan yang lain menurun.” Dalam ekonomi konvensional keadaan ini dikenal sebagai efficient allocation of goods yaitu alokasi barang-barang dikatakan efisien bila tidak seorang pun dapat meningkatkan utilitynya tanpa mengurangi utility orang lain.
Efisiensi alokasi hanya menjelaskan bahwa bila semua sumber daya yang ada habis teralokasi, maka alokasi yang efisien tercapai. Tetapi tidak mengatakan apa pun perihal apakah alokasi tersebut adil. Dalam konsep ekonomi islam, adil adalah “tidak menzalami dan tidak dizalami.” Bisa jadi “sama rasa sama rata” tidak adil dalam pandangan Islam karena tidak memberikan insentif bagi orang yang bekerja keras.
Untuk itu Pemerintah harus membuat kebijakan-kebijakan agar alokasi sumber daya ekonomi dilaksanakan secara efisien. Pemerintah harus membuat kebijakan-kebijakan agar kekayaan terdistribusi secara baik dalam masyarakat, misalnya melalui Perpajakan, Subsidi, Pengentasan kemiskinan, Transfer pnghasilan dari daerah kaya ke daerah miskin, Bantuan pendidikan,Bantuan kesehatan, dan lain-lain.
Ekonom Islam mazhab mainstream menggunakan definisi efisiensi yang sama dengan definisi ekonomi neoklasik, di mana persoalan efisiensi diwujudkan sebagai masalah optimasi. Pada perilaku konsumen tunggal, efisiensi dicapai dengan mengalokasikan anggaran tertentu pada kombinasi barang dan jasa yang memaksimumkan kegunaan konsumen. Pada kasus produsen tunggal, optimasi bisa dicapai melalui dua jalur: penggunaan kombinasi input  yang memaksimasi laba, atau; penggunaan input yang meminimumkan biaya untuk mencapai tingkat produksi tertentu.
Dari penjelasan mengenai teori alokasi diatas dapat di analisis bahwa pandangan ekonomi islam telah terfokus pada masalah pengalokasian sumber daya dengan adanya campur tangan pemerintah agar alokasi sumber daya dapat terdistribusi dengan baik. Mengingat sumber daya ekonomi bersifat langka, pengalokasiannya harus memberi manfaat bagi manusia.











[1] Pusat pengkajian dan pengembangan ekonomi islam (P3EI) universitas islam Indonesia Yogyakarta, Ekonomi  Islam, (Jakarta:PT. Raja GrafindoPersada,2007), 130-131.
[2]   Anita Rahmawaty, Ekonomi miikro islam, (kudus: Nora Media Enterprise,2011), 65-66.
[3] Sadono Sukirno,Mikro Ekonomi Teori Pengantar Edisi Ketiga, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2013), 154.

[5] M. Nur Rianto Al Arif, dan Euis Amalia. Teori Mikroekonomi, (Jakarta:kencana,2010), 110.
[6] M. Nur Rianto Al Arif, dan Euis Amalia. Teori Mikroekonomi,  (Jakarta:Kencana,2010), 87-91.




Halaman Terakhir (Perihal Memilih Untuk Menyudahi)

Ada satu hal yang membuatku ingin terus membuka halaman per halaman. Menantangku untuk mengetahui sesuatu yang akan terjadi berikutnya. Tiap...