Minggu, 22 Januari 2017

HAK CIPTA, PATEN, DAN MERK



2.1.Hak Cipta
A.    Pengertian Hak Cipta
Menurut pengertian Pasal 1 UU No. 19 Tahun 2002, yang dimaksud dengan Hak Cipta ( copyrights dalam bahasa Inggris, auterscrecht dalam bahasa Belanda) adalah hak ekseklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hak cipta meliputi bidang Ilmu Pengetahuan, seni, dan sastra yang mencakup semua karya tulis seperti buku, program komputer, database dll.
1.          Pemegang Hak Cipta
                  Pemegang hak cipta adalah pencipta sebagai pemilik hak cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari pencipta atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut.
2.          Fungsi dan Sifat Hak Cipta
                  Hak ekseklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan. Hak cipta diperoleh secara otomatis, dengan demikian siapa yang mengumumkan pertama kali merupakan sifat dari hak cipta yang menganggap bahwa pengumuman dari pencipta sekaligus secara otomatis sebagai pemilik ciptaannya.  Hak cipta juga dianggap sebagai “benda bergerak”, oleh karena itu hak cipta dapat beralih atau dialihkan baik seluruhnya maupun sebagian. Hak-hak tersebut berlangsung hingga 50 tahun setelah penciptanya meninggal dunia ( pasal 29 UU No. 19 Tahun 2002).
B.     Pendaftaran Hak Cipta
            Menurut Pasal 35 UU No. 19 Tahun 2002, ketentuan tentang pendaftaran hak cipta tidak merupakan kewajiban untuk mendapatkan hak cipta. Hak cipta diperoleh secara otomatis, bagi yang tidak didaftarkan tetap memperoleh perlindungan hukum, meskipun demikian pendaftaran diperlukan sebagai bukti awal dari pemilik hak cipta. Pendaftaran ciptaan dalam daftar umum ciptaan dilakukan atas permohonan yang diajukan oleh pencipta atau oleh pemegang hak cipta atau kuasanya.
1.      Pelanggaran Hak Cipta
            Menurut Pasal UU No. 19 Tahun 2002, tidak dianggap pelanggaran hak cipta apabila suatu karya menulis sumbernya:
a.       Untuk keperluan pendidikan, penelitian dan lain-lain yang tidak merugikan penciptanya.
b.      Pengambilan untuk kepentingan dipengadilan.
c.       Pengambilan, baik sebagian maupun seluruhnya, untuk kepentingan ceramah ilmiah dan pendidikan asal tidak merugikan penciptanya.
d.      Pembuatan salinan cadangan suatu program komputer olrh pemilik program komputer yang dilakukan semata-mata untuk digunakan sendiri.
2.      Hak Ekonomis dan Hak Moral
            Hak cipta terdiri ataas Hak Ekonomi dan Hak Moral. Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan serta produk hak terkait. Hak moral adalah hak yang melekat pada pada diri pencipta atau pelaku yang tidak dapat dihilangkan atau dihapus tanpa alasan apapun, walaupun hak cipta dan hak terkait telah dialihkan. Hak ekonomi meliputi hak memperbanyak, hak distribusi, hak pertunjukan, dan hak peragaan.
3.      Hak terkait
Menurut  ketentuan pasal 49-50 UU No. 19 Tahun 2002 :
a.       Pelaku memiliki hak untuk memberi izin atau melarang orang lain tanpa perseujuannya membuat, memperbanyak dan menyiarkan rekaman suara atau gambar pertunjukan dalam waktu 50 tahun.
b.      Produsen rekaman suara memiliki hak khusus untuk memberi izin atau melarang orang lain yang tanpa persetujuannya memperbanyak rekaman suara untuk jangka 50 tahun.
c.       Lembaga penyiaran juga memiliki hak khusus untuk jangka waktu 20 tahun.



2.2  Hak Paten
A.    Pengertian Hak Paten
            Istilah paten berasal dari patent ( dalam bahasa Inggris) , pengertian paten menurut UU No. 14 Tahun 2001 adalah hak eksklusif yang diberikan kepada penemu (inventor) dibidang teknologi ( proses, hasil produksi, penyempurnaan, dan pengembangan proses atau hasil  produksi).  Selain hak paten, dikenal juga Hak paten sederhana, yaitu merupakan hak ekslusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya berupa produk atau alat yang baru dan mempunyai nilai kegunaan praktis disebabkan oleh bentuk, konfigurasi, konstruksi/ komponennya.
            Pendaftaran paten ( bersifat firs to file) tersebut adalah wajib bagi investor, dengan demikian demikian perlindungan hukum baru diberikan negara kepada investor apabila pendaftaran paten tersebut telah dilaksanakan.

1.      Jangka Waktu Paten
            Menurut UU No. 14 Tahun 2001, jangka waktu berlakunya suatu paten adalah:
a.       Paten diberikan untuk jangka waktu 20 tahun sejak tanggal penerimaan dan tidak dapat diperpanjang lagi ( pasal 8).
b.      Untuk paten sederhana jangka waktunya adalah 10 tahun sejak tanggal penerimaan dan tidak dapat diperpanjang lagi ( pasal 9).
B.     Pengalihan dan Lisensi Paten
            Pemegang paten memiliki hak khusus untuk melaksanakan paten yang dimilikinya dan melarang orang lain yang tanpa persetujuannya menggunakan hak tersebut. Terhadap pihak lain yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan yang disebut pasal 16 UU No. 14 Tahun 2001 tersebut, maka pemegang paten dan lisensi berhak menggugat ganti rugi melalui pengadilan niaga. Pasal 66 sampai pasal 87 UU No. 14 Tahun 2001 mengatur tentang pengalihan dan lisensi paten yang dapat dilakukan dalam hal:
a.       Paten bisa beralih atau dialihkan, baik seluruhnya atau sebagian, karena pewarisan, hibah wasiat, perjanjian tertulis, atau sebab lain yang dibenarkan oleh perundang-undangan.
b.      Pengalihan hak tidak menghapus hak penemu ( inventor) untuk tetap dicantumkan nama dan identitasnya dalam paten yang bersangkutan (pasal 68).
c.       Lisensi adalah izin tertulis untuk melaksanakan paten dalam waktu tertentu dan syarat tertentu, lisensi paten hanya bersifat pemberian hak untuk menikmati manfaat ekonomi suatu paten.
d.      Perjanjian lisensi wajib dicatatkan pada rektorat jenderal dengan dikenai biaya, apabila tidak dicatatkan perjanjian tersebut tidak mempunyai akibat hukum terhadap pihak ketiga ( pasal 72).
e.       Lisensi wajib adalah lisensi untuk melaksanakan paten yang yang diberikan berdasarkan keputusan direktorat jenderal
3.      Pembatalan Paten
            Pembatalan paten diatur dalam pasal 88 sampai pasal 98 UU No. 14 tahun 2001:
a.       Batal demi hukum, apabila pemegang paten tidak membayar biaya tahunan (pasal 88)
b.      Batal atas permohonan pemegang (pasal 90)
c.       Batal karena gugatan (pasal 90) dengan alasan:
a.       Paten seharusnya tidak diberikan seperti dimaksud (pasal 6,7 dan 12)
b.      Sama dengan paten lain yang telah diberikan
c.       Pemberian lisensi wajib tidak dapat mencegah bentuk dan cara yang merugikan dalam jangka waktu dua tahun sejak tanggal pemberian lisensi wajib.
4.   Akibat pembatalan paten menghapuskan segala akibat hukum yang berkaitan dengan paten dan hal-hal lain yang berasal dari paten tersebut ( pasal 95)

4.      Paten Sederhana
Paten sederhana diatur dalam pasal 104 sampai dengan pasal 109 UU No. 14 Tahun 2001, dan yang dapat diberikan paten sederhana adalah:
a.       Hanya untuk satu invensi.
b.      Invensi berupa produk kasat mata yang memiliki kualitas sederhana.
c.       Permohonan pemerikasaan substantif atas paten sederhana dapat dilakukan dengan pengajuan permohonan paling lama enam bulan sejak tanggal penerimaan dengan dikenai biaya.
d.      Paten sederhana tidak dapat dimintakan lisensi wajib.


a.        Hak Merek
A.    Pengertian hak merek
Menurut pasal 1 UU No. 15 Tahun 2001:
a.       Merek adalah tanda berupa gambar, susunan warna, nama kata, huruf-huruf, angka-angka, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda, dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.
b.       Merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya, dengan maksud adalah barang yang termasuk dalam satu cabang industri atau perdagangan yang sama.
c.       Merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya.
d.      Merek kolektif adalah merek yang digunakan pada barang atau jasa dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersam-sama untuk membedakan dengan barang atau jasa sejeis lainnya.

Hak merek adalah hak eksklusif yang diberikan negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka  waktu tertentu memakai sendiri merek tersebut atau memberi izin kepada seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk menggunakannya ( pasal 3).


B.     Permohonan Pendaftaran Merek
1.      Syarat dan tata cara permohonan
Menurut pasal 7 UU No. 15 Tahun 2001:
a.       Permohonan diajukan dalam bahasa Indonesia, untuk merek bahasa asing atau di dalamnya terdapat huruf selain huruf latin wajib disertai terjemahan dalam bahasa Indonesia.
b.      Permohonan ditanda tangani pemohon atau kuasanya dengan dilampiri bukti pembayaran biaya.
c.       Permohonan untuk dua kelas barang atau lebih atau jasa dapat diajukan dalam satu permohonan yang diatur dengan peraturan pemerintah.
C.     Pendaftaran merek
1.      Pemeriksaan substantif
2.      Pengumuman permohonan
3.      Keberatan dan pemeriksaan kembali
4.      Sertifikat merek
5.      Permohonan banding
D.    Pengalihan atas merek terdaftar
1.      Pengalihan hak
            Menurut ketentuan pasal 40 UU No. 15 Tahun 2001, hak atas merek terdaftar dapat beralih atau dialihkan karena pewarisan, wasiat, hibah, perjanjian atau sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.
2.      Lisensi
            Pemilik merek berhak memberikan lisensi kepada pihak lain dengan perjanjian dan wajib dicatatkan ke Dirjrn HaKi, dimana pemilik merek masih tetap berhak menggunakannya dan memberikan lisensi kepada pihak lainnya. Perjanjian lisensi dilarang memuat ketentuan yang dapat merugikan perekonomian Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung dan memuat pembatasan yang menghambat kemampuan bangsa Indonesia dalam menguasai dan mengembangkan teknologi.


E.     Penghapusan dan Pembatalan Merek
1.      Penghapusan
Penghapusan merek terdaftar dapat dilakukan atas prakarsa Dirjen HaKi atau atas dasar permohonan sendiri (pasal 61). Penghapusan atas prakarsa Dirjen HaKi terjadi jika merek tersebut tidak digunakan selama tiga tahun berturut-turut atau lebih. Penghapusan juga dapat diajukan oleh pihak ketiga melalui gugatan kepengadilan niaga (pasal 63).
2.      Pembatalan
Gugatan pembatalan merek dapat diajukan oleh pihak yang berkepentingan, bisa pula oleh pemilik merek tidak terdaftar. Gugatan diajukan kepada pemilik merek dengan mengajukan permohonan ke Dirjen HaKi yang selanjutnya pengadilan niaga akan memutuskan gugatan tersebut. Untuk pemilik merek yang berada diluar wilayah Republik Indonesia dapat diajukan melalui Pengadilan Niaga Jakarta. 


Jumat, 13 Januari 2017

Akibat Sumpah Li'an

 

A.    Pengertian Li’an
                        Kata li’an terambil dari kata al-la’nu, yang artinya jauh dan laknat atau kutukan. Disebut demikian karena suami istri yang saling berli’an itu berakibat saling dijauhkan oleh hukum dan diharamkan berkumpul sebagai suami istri untuk selama-lamanya, atau karena yang bersumpah li’an itu dalam kesaksiannya yang kelima menyatakan bersedia menerima laknat Allah jika pernyataannya tidak benar.
                        Menurut istilah hukum Islam, li’an ialah sumpah yang diucapkan oleh suami ketika ia menuduh istrinya berbuat zina dengan empat kali kesaksian[1] bahwa ia termasuk orang yang benar dalam tuduhannya, kemudian pada sumpah kesaksian kelima disertai persyaratan bahwa ia bersedia menerima laknat Allah jika ia berdusta dalam tuduhannya itu.
Dasar hukum pengaturan li’an bagi suami yang menuduh istrinya berbuat zina ialah firman Allah surat An-Nur ayat 6-7:
tûïÏ%©!$#ur tbqãBötƒ öNßgy_ºurør& óOs9ur `ä3tƒ öNçl°; âä!#ypkà­ HwÎ) öNßgÝ¡àÿRr& äoy»ygt±sù óOÏdÏtnr& ßìt/ör& ¤Nºy»uhx© «!$$Î/   ¼çm¯RÎ) z`ÏJs9 šúüÏ%Ï»¢Á9$# ÇÏÈ   èp|¡ÏJ»sƒø:$#ur ¨br& |MuZ÷ès9 «!$# Ïmøn=tã bÎ) tb%x. z`ÏB tûüÎ/É»s3ø9$# ÇÐÈ  

“Orang-orang yang menuduh istrinya (berzina) padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya ia termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima, bahwa laknat Allah akan ditimpakan kepadanya jika ia termasuk orang-orang yang berdusta.”

                        Terhadap tuduhan suami itu, istri dapat menyangkalnya dengan sumpah kesaksian sebanyak empat kali bahwa suami itu berdusta dalam tuduhannya, dan pada sumpah kesaksiannya yang kelima disertai pernyataan bahwa ia bersedia menerima amarah dari Allah jika suami benar dalam tuduhannya. Hal ini sesuai dengn firman Allah dalam surat An-nur ayat 8-9
(#ätuôtƒur $pk÷]tã z>#xyèø9$# br& ypkôs? yìt/ör& ¤Nºy»pky­ «!$$Î/   ¼çm¯RÎ) z`ÏJs9 šúüÎ/É»s3ø9$# ÇÑÈ   sp|¡ÏJ»sƒø:$#ur ¨br& |=ŸÒxî «!$# !$pköŽn=tæ bÎ) tb%x. z`ÏB tûüÏ%Ï»¢Á9$# ÇÒÈ  
“8. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar Termasuk orang-orang yang dusta.
9. dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu Termasuk orang-orang yang benar”.

                        Dengan terjadinya sumpah li’an ini maka terjadilah perceraian antara suami istri tersebut dan antara keduanya tidak boleh terjadi perkawinan kembali untuk selama-lamanya.
B.     Bentuk-bentuk Tuduhan Li’an
Li’an dilakukan dalam bentuk-bentuk tuduhan sebagai berikut:
a.       Suami menuduh isterinya berbuat zina, tetapi dia tidak mempunyai empat orang saksi terhadap tuduhannya itu. Dalam hal ini terdapat dua kemungkinan:
1. Suami menyaksikan sendiri perbuatan zina itu. Yakni suami menuduh bahwa   dia menyaksikan sendiri isterinya melakukan zina atau isteri mengakui berzina.
2. Suami menuduh isterinya berbuat zina dengan semata-mata tuduhan berbuat zina, berdasarkan tanda-tanda  yang meyakinkannya bahwa isterinya berbuat zina.
b. Suami mengingkari kehamilan isterinya dari hasil hubungannya dengan suami umpama karena suami merasa belum menggaulinya sejak aqad perkawinannya, atau suami tidk mengakui anak yang dilahirkan isterinya sebagai anak darinya.
          Antara tuduhan berbuat zina dan menafikan anak dapat berkumpul dalam satu tuduhan dan mungkin berdiri sendiri-sendiri.
Sumpah li’an diucapkan di hadapan Hakim dan dilakukan atas suruhan Hakim. Sebaiknya sebelum li’an diucapkan, Hakim memberi nasihat dan peringatan seperlunya kepada yang bersangkutan[2].

C.    Tata Cara Li’an [3]
1.      Suami bersumpah 4 kali dengan kata tuduhan zina dan atau pengingkaran anak tersebut diikuti sumpah yang kelima dengan kata-kata laknat Allah atas dirinya apabila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dusta.
2.      Istri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dengan sumpah 4 kali dengan kata tuduhan atau pengingkaran tersebut tidak benar, diikuti dengan sumpah yang kelima dengan kata-kata murka Allah atas dirinya bila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut benar.
Tata cara menurut point 1 dan 2 tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Kalau tata cara point 1 tidak diikuti point 2, maka tidak terjadi li’an.
D.    Terjadinya Li’an
Li’an ada dua macam: pertama, suami menuduh isterinya berzina, tapi ia tak punya empat orang saksi laki-laki yang dapat menguatkan kebenaran tuduhannya itu. Kedua, suami tidak mengakui kehamilan isterinya sebagai hasil dari benihnya.
Yang pertama dapat dibenarkan jika ada laki-laki yang menzinainya, seperti: suami melihat laki-laki tersebut sedang menzinainya atau isteri mengakui berbuat zina dan suami yakin akan kebenaran pengakuannya tersebut. Dalam keadaan seperti ini, lebih baik di talak, bukan melakukan mula’anah.
Tetapi jika tidak terbukti laki-laki yang menzinainya, maka suami boleh menuduhnya berbuat zina. Dan boleh tidak mengakui kehamilan isteri, biar dalam keadaan bagaimanapun, karena ia merasa belum pernah sama sekali mencampuri isterinya sejak akad nikahnya, atau ia merasa mencampurinya tapi baru setengah tahun atau telah lewat setahun, sedangkan umur kandungnnya tidak sesuai.




E.     Pengadilan Yang Memerintahkan Mula’anah
Pengadilan, di waktu li’an ini seyogyanya mengingatkan perempuannya dan menasehatinya, seperti telah tersebut dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Nasa’i, Ibnu Majah, dan di sahkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim. Katanya:

أيما إمرأة أدخلت على قوم من ليس منهم، فليست من الله في شيئ، ولن يدخلها الله الجنة. وأيما رجل جحد ولده وهو ينظر إليه إحتجب الله منه وفضحه على رؤوس الاولين والاخرين.
“Siapapun perempuan yang memasukkan laki-laki yang bukan muhrimnya, maka Allah tidak akan menjaganya sama sekali, dan Allah tidak akan memasukkannya ke surga. Dan siapapun laki-laki yang menyangkal anaknya, padahal ia melihatnya, maka Allah akan menjauhkan daripadanya dan menjelekkannya di mata orang-orang dahulu dan kemudian”.
Dengan syarat berakal sehat dan dewasa
Dalam li’an di samping disyaratkan di depan Pengadilan (hakim), juga harus punya akal sehat dan juga sudah dewasa bagi masing-masing yang melakukan li’an. Hal lini sudah menjadi ijma’ ulama’.
Li’an sesudah mengajukan saksi-saksi
Jika suami telah mengajukan saksi-saksi yang telah mengetahui perzinaannya, apakah ia masih boleh mengadakan li’an?
Abu Hanifah berkata: tidak boleh. Karena li’an itu sebenarnya sebagai ganti daripada mengajukan sakdi-saksi. Sebab Allah berfirman:
tûïÏ%©!$#ur tbqãBötƒ öNßgy_ºurør& óOs9ur `ä3tƒ öNçl°; âä!#ypkà­ HwÎ) öNßgÝ¡àÿRr& äoy»ygt±sù óOÏdÏtnr& ßìt/ör& ¤Nºy»uhx© «!$$Î/   ¼çm¯RÎ) z`ÏJs9 šúüÏ%Ï»¢Á9$# ÇÏÈ  
“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri,…” (an-Nur: 6)
Tetapi Malik dan Syafi’I berkata: boleh ia bermula’anah. Sebab dengan saksi-saksi saja belum kuat untuk menyangkal atas kehamilam isterinya sebagai bukan dari benihnya[4].

            Menurut Al-Jurjawi, dalam sumpah li’an terkandung beberapa hikmah antara lain:
a.       Suatu pernikahan dan fungsi wanita sebagai istri bagi suami tidak akan sempurna kecuali dengan adanya keserasian dan saling menyayangi antara keduanya. Tetapi apabila sudah terdapat tuduhan zina dan melukai istri dengan kekejian, maka dada mereka akan sempit dan hilanglah keprrcayaan dari istri sehingga mereka berdua hidup dalam kedengkian yang tentu akan membawa kibat jelek.
b.      Melarang dan memperingatkan suami-istri agar jangan melakukan perbuatan buruk yang akan mengurangi kemuliaan itu.
c.       Menjaga kehormatannya dari kehinaan pelacuran yang tidak pernah hilang pengaruhnya siang dan malam.

F.     Akibat Sumpah Li’an Bagi Suami-istri
          Pelaksanaan hukum li’an sangat memberatkan dan menekan perasaan, baik bagi suami maupun bagi istri yang sedang dalam perkara li’an ini. Bahkan dapat mempengaruhi jiwa masing-masing, terutama setelah mereka berada dalam ketenangan berfikir dan perasaan kembali. Hal ini tidak lain adalah:
a.       Karena bilangan sumpah li’an
b.      Karena te[5]mpat paling mulia untuk berli’an. Kalau di Mekkah diadakan di antara Hajar Aswad dan Rukun Yamani. Di Madinah di dekat mimbar Rasulullah SAW. Di negeri lain doadakan di dalam masjod jami’ dekat mimbar.
c.       Karena masa yang palin gpenting untuk berli’an, yaitu waktu ashar sesudah melakikan sholat.
d.      Karena sumpah itu dilakukan di hadapan jamaah (manusia banyak), sekurang-kurangnya berjumlah empat orang.
            Di samping itu, pengaruh lain akibat li’an adalah terjadiya perceraian antara suami-istri. Bagi suami, maka istrinya menjadi haram untuk selamanya. Ia tidak boleh rujuk ataupun menikah lagi dengan akad baru. Bila istrinya melahirkan anak yang dikandungnya, maka anak itu dihukumkan tidak termasuk keturunan suaminya.




G.    Akibat Li’an Dari Segi Hukum
          Sebagai akibat dari sumpah li’an yang berdampak pada suami istri, yaitu li’an menimbulkan pula perubahan pada ketentuan hukum yang mestinya dapat berlaku bagi salah satu pihak (suami istri). Perubahan itu antara lain adalah sebagai berikut:
a.       Gugur had atas istri sebagai had zina.
b.      Wajib had atas istri sebagai had ina.
c.       Suami istri bercerai untuk selamanya.
d.      Diterapkan berdasarkan pengakuan suami, bahwa dia tidak mencampuri istrinya.
e.       Bila ada anak, tidak dapat diakui oleh suami sebagai anaknya.
          Sebaliknya si istri dapat menggugurkan hukum had atas dirinya dengan membela li’an suaminya dengan li’annya pula atas suaminya.



[1] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat (Jakarta: Prenadamedia Group. 2003) 239.
[3] Djamaan Nur, Fiqh Munakahat (Semarang: Dina Utama Semarang.1993)163.
[4] http://azimbae.blogspot.co.id/2012/08/fiqh-munakahat-lian.html
[5] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat (Jakarta: Prenadamedia Group. 2003) 276.

Halaman Terakhir (Perihal Memilih Untuk Menyudahi)

Ada satu hal yang membuatku ingin terus membuka halaman per halaman. Menantangku untuk mengetahui sesuatu yang akan terjadi berikutnya. Tiap...