A.
PROSES
PENGHARAMAN MINUMAN KERAS DALAM ISLAM
Kata الخَمْرُ berasal dari kata -
خَمْرًا خَمَرَ- يَخْمُرُ
yang berarti menutup. Dalam menjelaskan arti kata Khamr ini, Al-Qurthubi
mengemukakan ” kata Khamr berasal dari kata Khamara atau Satara
yang berarti menutup. Oleh karena itu, ada istilah kerudung wanita. Setiap
benda yang menutup sesuatu yang lain, selalu disebut khamr, seperti dalam
kalimat “tutuplah wadah-wadah kalian”. Jadi, khamr dapat menutup akal,
menyumbat dan membungkusnya.”[1]
Syariat Islam melarang mengkonsumsi minuman keras dan zat-zat
sejenisnya. Proses pengharaman ini dilakukan melalui beberapa tahapan yang
berulang-ulang sebanyak empat kali.
Pertama, Allah
menurunkan ayat tentang khamr yang bersifat informatif belaka. Hal ini
dilakukan karena tradisi meminumnya sangat membudaya dalam masyarakat. Ayat
yang diturunkan pertama kali adalah ayat 67 surat An-Nahl yang artinya ”
dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezeki
yang baik. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda
(kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.”
Kedua, diturunkan ayat 219 surat Al-Baqarah tentang khamr ”mereka
bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah “ pada keduanya terdapat
dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih
besar dari pada manfaatnya.”
Ketiga, diturunkan ayat 43 surat An-Nisa tentang proses
pengharaman khamr “ hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat,
sedang kamu dalam keadaan mabuk.”
Keempat, diturunkannya satu ayat terahir yang mengharamkan
khamr yaitu ayat 90 surat Al-Maidah “hai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, dan mengundi
nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” [2]
B.
BATASAN MEMINUM KHAMR DAN SANKSINYA
Ulama kalangan Hanafiah, sebagaimana
dipaparkan Al-Juhaili, membedakan antara sanksi sekedar meminum khamr dan
sanksi mabuk. Artinya, sedikit atau banyak tetap saja haram dan peminum yang
mabuk dapat dokenai hukum. Sementara itu, jumhur ulama tidak memisahkan antara
sanksi sekedar meminum dan sanksi mabuk.
Mengenai sanksi pidana bagi pemabuk, tidak
disebutkan secara jelas dalam rangkaian ayat tentang pengharaman khamr diatas.
Namun demikian, dalam Hadits disebutkan tentang sanksi bagi pemabuk, yaitu “dari
Anas bin Malik, bahwasannya Nabi didatangi oleh seorang yang telah meminum
khamr. Beliau lalu mencambuknya dengan dua pelepah kurma sebanyak empat puluh
kali.” (HR. Muslim)
Dalam hadits diatas disebutkan bahwa alat
yang digunakan untuk mencambuk adalah dua pelepah kurma. Imam An-Nawawi
mengemukakan bahwa istilah dua pelepah kurma ini mengakibatkan pemahaman yang
beragam, sebagian memahami bahwa hanya dianggap sebagai alat semata. Sebagian
yang lain memahami sebagai jumlah. Namun demikian pendapat yang lebih kuat
adalah sebagai alat semata,bukan masalah jumlahnya. Sebab di hadits lain
menyebutkan bahwa pemabuk dicambuk dengan satu pelepah kurma dan sandal.
Perbedaan pendapat tentang sanksi jarimah
peminum khamr adalah jumlah cambukan yang harus dikenakan kepada pelaku. Tetapi hadits tentang ijtihad Umar bin
Khaththab untuk menambah cambukan delapan puluh kali, secara lebih mendetail
dikemukakan dalam hadits “dari Anas bin Malik sesungguhnya Rasulullah
mencambuk pelaku jarimah syurb al-khamr dengan pelepah kurma dan sandal.
Kemudian Abu Bakar juga mencambuk sebanyak empat puluh kali. Sementara itu pada
masa pemerintahan Umar, orang-orang berdatangan dari dusun dan kampung-kampung.
Umar bertanya “bagaimana menurut kalian tentang sanksi pelaku syurb al-khamr ?”
Abdurrahman bin Auf menjawab “menurut saya sebaiknya engkau menentukan sama
dengan hudud yang paling ringan” Umar berkata “Umar mencambuk sebanyak delapan
puluh kali. ” (HR. Muslim)
Dari beberapa hadits diatas, dapat
disimpulkan bahwa sanksi jarimah syurb al-khamr ada dua, yaitu 40 kali cambukan
dan 80 kali cambukan. Dari sinilah timbul perbedaan pendapat dari Fuqaha dan
Syafi’iyah. Jumhur Fuqaha berpendapat 80 kali dengan berpegang pada kebijakan
Umar bin Khaththab dan argumentasi dari ucapan Ali yaitu “ seorang kalau
meminum khamr, ia akan mabuk. Kalau sudah mabuk, ia akan mengigau. Kalau sudah
mengigau, ia akan mengada-ada (penuduh). Adapun sanksi bagi penuduh adalah80
kali cambukan.”
Sementara Ulama Syafi’iyah berpendapat 40
kali, alasan mereka diantaranya adalah hadits Anas bin Malik diatas bahwa Nabi
dan Abu Bakar mencambuk sebanyak 40 kali. Adapun tambahan 40 kali cambukan
diluar itu sebagaimana yang dilakukan Umar bukanlah hudud, melainkan ta’zir dan
kebijaksanaannya sendiri.
Abdul Qadir Audah sebagai seorang tokoh
Fiqh Jinayah mengemukakan bahwa ulama berbeda pandangan dalam memahami
substansi Khamr. Menurut Imam Malik, As-Syafi’i dan Ahmad, meminum atau memakan
sesuatu yang memabukkan, baik yang diberi nama khamr maupun tidak, baik bahan
bakunya dari anggur maupun beras, atau baik unsur memabukkan banyak ataupun
sedikit, tetap saja haram. Sementara itu menurut Imam Abu Hanifah, yang
diharamkan hanya jenis minuman yang bernama khamr, tidak dalam jumlah besar
maupun kecil. Menurutnya ada tiga hal yang termasuk kategori khamr, yaitu:
1. Air anggur yang telah mendidih dan
mengeluarkan buih.
2. Air anggur yang telah direbus dan yang
tersisa kurang dari dua pertigatelah berubah menajdi khamr baik basah maupun
kering.
3. Perasan kedelai ketika telah mendidih dan
mengeluarkan buih.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
minuman atau makanan selain tiga hal diatas, seperti gandum, jagung atau beras,
baik diperas maupun dimasak, semuanya tidak termasuk khamr. Meminumnya atau
memakannya tetap halal, kecuali setelah di
minum mengakibatkan mabuk.
Di
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tindak pidana peminum-minuman
keras terdapat dalam pasal 536, 537, 538, 539 KUHP.
C. PENGERTIAN JARIMAH AR-RIDDAH
Ar-Riddah adalah bentuk bentuk masdar dari
kata رَدُّ
– يَرُدُّyang secara etimologis berarti memalingkannya atau
membalikannya. Kata ar-riddah juga mempunyai arti ”kembali pada suatu
kondisi kepada kondisi yang lain”. Selain itu kata ini juga mempunyai arti “kembali
kepada kekafiran kekafiran sesudah beragama islam”.[3] Menurut
Mansur bin Yunus Idris Al-Bahuti, secara etimologis, murtad ialah orang yang kembali. Sementara
secara terminologis, murtad ialah orang kafoir setelah islam, walaupun ia mumayyiz.
Hal ini ia lakukan dengan sadar, meskipun sambil bercanda. Perbuatan yang
termasuk murtad adalah menyekutukan Allah;menolak ketuhanan, keesaan, dan
beberapa sifat Allah; menganggap Allah memiliki pasangan dan anak, mengaku
menjadi nabi, membenarkan seseorang yang mengaku dirinya nabi, menolak adanya
nabi, menolak kebenaran semua kitab Allah atau sebagainya, menolak eksistensi
malaikat,mendustakan hari kebangkitan, mengutuk Allah dan Rasulnya, menghina
Allah, kitab, dan rasul, membenci Rasul dan ajarannya yang telah disepakati.[4]
D. UNSUR-UNSUR JARIMAH MURTAD
Menurut Abdul Qadir Audah, jarimah murtad
meliputi 2 unsur, sebagai berikut:
1. Keluar dari
Agama Islam Lalu Menuju Kekafiran
Artinya tidak lagi meyakini bahwa Islam adalah agama
yang benar. Proses ini terjadi melalui tiga cara, yaitu:
a. Dengan Tindakan
Melakukan perbuatan yang diharamkan secara sengaja
untuk menghina, meremehkan, atau menentang islam. Misalnya,berbuat zina,
meminum khamr, dan membunuh adalah perbuatan yang halal dan bukan atas dasar ta’wil.
b. Dengan Ucapan
Seorang bisa menjadi kafir apabila ia mengatakan bahwa
Allah bukanlah Tuhan, Allah itu tidak Esa, Allah memiliki tandingan, pasangan
dan anak, malaikat dan nabi itu tidak ada, Al-Qur’an berisi kebohongan, hari
kiamat tidak pernah terjadi, syahadat itu dusta, syariat islam tidak untuk
mengatur kehidupan manusia, serta hukum
manusia jauh lebih cocok. Selain itu, apabila telah memproklamirkan diri keluar
islam dan mengaku dirinya nabi, maka secara otomatis ia telah murtad.
c. Dengan Keyakinan
Murtad juga terjadi melalui keyakinan, seprti meyakini
bahwa alam ini ada sebelum adanya Allah, Allah ada setelah adanya alam, dll.
Keyakinan memang ada dalam hati dan belum
terealisasikan. Dengan dimikian, pelaku tidak daoat dihukumi atas tuduhan murtad
sebab Rasul bersabda:
عن ابي هريرةقال: قا ل رسول الّله صلي الّله
عليه وسلّم إنّ الّله عزّ وجلّ تجا وز لأمّتي ما وسو ست به أنفسها ما لم تعمل أو
لم تتكلّم
Dari Abu
Hurairah, ia berkata, “Rasulullah bersabda ‘ sesungguhnya Allah memaafkan dosa
umatku apa yang terbesit dalam hatinya selama tidak dilaksanakan atau di
ucapkan.’” (HR. Al-Bukhari, Abu Dawud, Al-Tirmidzi, dan Al-Nasai).
2. Melawan
Hukum
Maksudnya
yaitu seseorang sengaja mengucapkan atau melakukan apa yang sebelumnya
terlintas didalam hati dan ia sadar hal itu akan membuatnya dianggap murtad. Sementara itu bagi yang tidak mengerti bahwa
hal itu dapat berakibat fatal pada keimanannya, ia tidak dianggap murtad.
Demikian pula orang yang secara tidak sadar mengucapkannya, “ ya Allah, saya
Tuhan dan engkau hamba” karena terlalu gembira atau terlalu sedih, hal itu
tidak membuatnya murtad.
E. SANKSI TERHADAP PELAKU JARIMAH AR-RIDDAH
1. Sanksi Asli
Sanksi asli
terhadap pelaku jarimah adalah dibunuh. Hal ini sebagaimna dijelaskan oleh
hadits “dari Ibnu Abbas, ia berkata, Rasul bersabda ‘barang siapa yang
mengganti agamanya, maka bunuhlah ia’” (HR. Al-Bukhari, Abu Dawud,
At-Tirmidzi dan An-Nasai)
Perihal hukuman
mati terhadap orang yang murtad, dikemukakan secara lebih lengkap dalam hadits “kami
mendapatkan hadits ini dari Abu Nu’man Muhammad bin Fadhal, dari Hammad bin
Zaid, dari Ayub, dari Ikrimah,ia berkata ‘didatangkan orang-orang zindik
(murtad) kepada Ali bin Abi Thalib. Ali lalu menghukum mereka dengan membakar
mereka. Hal itu didengar oleh Ibnu Abbas, lalu ia berkata ‘kalau saya tidak
akan membakar mereka, karena Rasulullah melarang hal itu, tetapi saya akan
membunuh mereka karena Rasulullah bersabda bahwa barang siapa yang mengganti
agamanya, maka bunuhlah ia.” (HR. Al-Bukhari)
Berdasarkan
dua hadits shahih diatas, ulama sepakat bahwa pelaku ar-riddah adalah dibunuh,
namun pelaksanaanya tidak boleh serta merta dibunuh. Sebelumnya si pelaku
diimbau untuk bertaubat dan kembali keagamanya, dan adanya tenggang waktu yang
tersedia untuk bertaubat bagi pelaku jarimah ar-riddah.
2. Sanksi Pengganti
Sebelumnya
telah dijelaskan apabila pelaku telah bersedia bertaubat, ia bebas dari hukuman
mati. Namun demikian, bukan berarti ia bebas dari hukuman mati sama sekali.
Tetapi ada hukum pengganti yaitu hukuman ta’zir. Hukuman ta’zir menjadi
wewenang penguasa setempat. Hukuman ini dapat berupa cambukan, penahanan, ganti
rugi, atau kecaman.
3. Sanksi Pelengkap
a. Pembekuan Aset Harta
Pembekuan
aset orang murtad bukan berarti menghilangkan hak kepemilikannya. Ini hanya
sebagai sanksi pelengkap, bukan sanksi pokok. Ketika bertaubat, ia tetap berhak
atas kekayaannya. Akan tetapi kalau ia terbunuh dalam kondisi masih murtad, asetnya
menjadi harta negara.
b. Pembatasan Kewenangan dalam Membelanjakan
Harta Kekayaan
Orang murtad
tetap diperbolehkan untuk memindahkan hak miliknya kepada pihak lain dengan
cara hibah, jual-beli, atau sewa. Akan tetapi, orang yang murtad tidak
diperbolehkan memindahkan hak miliknya dengan cara waris karena adanya
perbedaan agama. Seorang yang meninggal dalam kondisi murtad, harta kekayaannya
harus dibekukan. Kalau tetap dibelanjakan hal itu dinilai batil, karena harta
itu hak kaum muslimin yang doberikan melalui baitul mal atau berstatus fai’i.
[1] M. Nurul Irfan dan Masyrofah, FIQH JINAYAH, Amzah,
Jakarta. Hal.51
[2] Ibid. Hal.48-50
[3] M. Nurul Irfan dan Masyrofah, FIQH JINAYAH, Amzah, Jakarta.
Hal.76
[4] Ibid.
Hal 78
Tidak ada komentar:
Posting Komentar