Jumat, 13 Januari 2017

Fiqih Jinayah (Khamr dan ar-riddah)




A.    PROSES PENGHARAMAN MINUMAN KERAS DALAM ISLAM
Kata الخَمْرُ  berasal dari kata - خَمْرًا خَمَرَ- يَخْمُرُ yang berarti menutup. Dalam menjelaskan arti kata Khamr ini, Al-Qurthubi mengemukakan ” kata Khamr berasal dari kata Khamara atau Satara yang berarti menutup. Oleh karena itu, ada istilah kerudung wanita. Setiap benda yang menutup sesuatu yang lain, selalu disebut khamr, seperti dalam kalimat “tutuplah wadah-wadah kalian”. Jadi, khamr dapat menutup akal, menyumbat dan membungkusnya.”[1]
Syariat Islam melarang mengkonsumsi minuman keras dan zat-zat sejenisnya. Proses pengharaman ini dilakukan melalui beberapa tahapan yang berulang-ulang sebanyak empat kali.
Pertama, Allah menurunkan ayat tentang khamr yang bersifat informatif belaka. Hal ini dilakukan karena tradisi meminumnya sangat membudaya dalam masyarakat. Ayat yang diturunkan pertama kali adalah ayat 67 surat An-Nahl yang artinya ” dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.”
Kedua, diturunkan ayat 219 surat Al-Baqarah tentang khamr ”mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah “ pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari pada manfaatnya.”
Ketiga, diturunkan ayat 43 surat An-Nisa tentang proses pengharaman khamr “ hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk.”
Keempat, diturunkannya satu ayat terahir yang mengharamkan khamr yaitu ayat 90 surat Al-Maidah “hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” [2]

B.     BATASAN MEMINUM KHAMR DAN SANKSINYA
Ulama kalangan Hanafiah, sebagaimana dipaparkan Al-Juhaili, membedakan antara sanksi sekedar meminum khamr dan sanksi mabuk. Artinya, sedikit atau banyak tetap saja haram dan peminum yang mabuk dapat dokenai hukum. Sementara itu, jumhur ulama tidak memisahkan antara sanksi sekedar meminum dan sanksi mabuk.
Mengenai sanksi pidana bagi pemabuk, tidak disebutkan secara jelas dalam rangkaian ayat tentang pengharaman khamr diatas. Namun demikian, dalam Hadits disebutkan tentang sanksi bagi pemabuk, yaitu “dari Anas bin Malik, bahwasannya Nabi didatangi oleh seorang yang telah meminum khamr. Beliau lalu mencambuknya dengan dua pelepah kurma sebanyak empat puluh kali.” (HR. Muslim)
Dalam hadits diatas disebutkan bahwa alat yang digunakan untuk mencambuk adalah dua pelepah kurma. Imam An-Nawawi mengemukakan bahwa istilah dua pelepah kurma ini mengakibatkan pemahaman yang beragam, sebagian memahami bahwa hanya dianggap sebagai alat semata. Sebagian yang lain memahami sebagai jumlah. Namun demikian pendapat yang lebih kuat adalah sebagai alat semata,bukan masalah jumlahnya. Sebab di hadits lain menyebutkan bahwa pemabuk dicambuk dengan satu pelepah kurma dan sandal.
Perbedaan pendapat tentang sanksi jarimah peminum khamr adalah jumlah cambukan yang harus dikenakan kepada pelaku.  Tetapi hadits tentang ijtihad Umar bin Khaththab untuk menambah cambukan delapan puluh kali, secara lebih mendetail dikemukakan dalam hadits “dari Anas bin Malik sesungguhnya Rasulullah mencambuk pelaku jarimah syurb al-khamr dengan pelepah kurma dan sandal. Kemudian Abu Bakar juga mencambuk sebanyak empat puluh kali. Sementara itu pada masa pemerintahan Umar, orang-orang berdatangan dari dusun dan kampung-kampung. Umar bertanya “bagaimana menurut kalian tentang sanksi pelaku syurb al-khamr ?” Abdurrahman bin Auf menjawab “menurut saya sebaiknya engkau menentukan sama dengan hudud yang paling ringan” Umar berkata “Umar mencambuk sebanyak delapan puluh kali.  (HR. Muslim)
Dari beberapa hadits diatas, dapat disimpulkan bahwa sanksi jarimah syurb al-khamr ada dua, yaitu 40 kali cambukan dan 80 kali cambukan. Dari sinilah timbul perbedaan pendapat dari Fuqaha dan Syafi’iyah. Jumhur Fuqaha berpendapat 80 kali dengan berpegang pada kebijakan Umar bin Khaththab dan argumentasi dari ucapan Ali yaitu “ seorang kalau meminum khamr, ia akan mabuk. Kalau sudah mabuk, ia akan mengigau. Kalau sudah mengigau, ia akan mengada-ada (penuduh). Adapun sanksi bagi penuduh adalah80 kali cambukan.”
 Sementara Ulama Syafi’iyah berpendapat 40 kali, alasan mereka diantaranya adalah hadits Anas bin Malik diatas bahwa Nabi dan Abu Bakar mencambuk sebanyak 40 kali. Adapun tambahan 40 kali cambukan diluar itu sebagaimana yang dilakukan Umar bukanlah hudud, melainkan ta’zir dan kebijaksanaannya sendiri.
Abdul Qadir Audah sebagai seorang tokoh Fiqh Jinayah mengemukakan bahwa ulama berbeda pandangan dalam memahami substansi Khamr. Menurut Imam Malik, As-Syafi’i dan Ahmad, meminum atau memakan sesuatu yang memabukkan, baik yang diberi nama khamr maupun tidak, baik bahan bakunya dari anggur maupun beras, atau baik unsur memabukkan banyak ataupun sedikit, tetap saja haram. Sementara itu menurut Imam Abu Hanifah, yang diharamkan hanya jenis minuman yang bernama khamr, tidak dalam jumlah besar maupun kecil. Menurutnya ada tiga hal yang termasuk kategori khamr, yaitu:
1.      Air anggur yang telah mendidih dan mengeluarkan buih.
2.      Air anggur yang telah direbus dan yang tersisa kurang dari dua pertigatelah berubah menajdi khamr baik basah maupun kering.
3.      Perasan kedelai ketika telah mendidih dan mengeluarkan buih.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa minuman atau makanan selain tiga hal diatas, seperti gandum, jagung atau beras, baik diperas maupun dimasak, semuanya tidak termasuk khamr. Meminumnya atau memakannya tetap halal, kecuali setelah di  minum mengakibatkan mabuk.
 Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tindak pidana peminum-minuman keras terdapat dalam pasal 536, 537, 538, 539 KUHP.  


C.     PENGERTIAN JARIMAH AR-RIDDAH
Ar-Riddah adalah bentuk bentuk masdar dari kata   رَدُّ – يَرُدُّyang secara etimologis berarti memalingkannya atau membalikannya. Kata ar-riddah juga mempunyai arti ”kembali pada suatu kondisi kepada kondisi yang lain”. Selain itu kata ini juga mempunyai arti “kembali kepada kekafiran kekafiran sesudah beragama islam”.[3] Menurut Mansur bin Yunus Idris Al-Bahuti, secara etimologis,  murtad ialah orang yang kembali. Sementara secara terminologis, murtad ialah orang kafoir setelah islam, walaupun ia mumayyiz. Hal ini ia lakukan dengan sadar, meskipun sambil bercanda. Perbuatan yang termasuk murtad adalah menyekutukan Allah;menolak ketuhanan, keesaan, dan beberapa sifat Allah; menganggap Allah memiliki pasangan dan anak, mengaku menjadi nabi, membenarkan seseorang yang mengaku dirinya nabi, menolak adanya nabi, menolak kebenaran semua kitab Allah atau sebagainya, menolak eksistensi malaikat,mendustakan hari kebangkitan, mengutuk Allah dan Rasulnya, menghina Allah, kitab, dan rasul, membenci Rasul dan ajarannya yang telah disepakati.[4]

D.    UNSUR-UNSUR JARIMAH MURTAD
Menurut Abdul Qadir Audah, jarimah murtad meliputi 2 unsur, sebagai berikut:
1.      Keluar dari Agama Islam Lalu Menuju Kekafiran
Artinya tidak lagi meyakini bahwa Islam adalah agama yang benar. Proses ini terjadi melalui tiga cara, yaitu:
a.       Dengan Tindakan
Melakukan perbuatan yang diharamkan secara sengaja untuk menghina, meremehkan, atau menentang islam. Misalnya,berbuat zina, meminum khamr, dan membunuh adalah perbuatan yang halal dan bukan atas dasar ta’wil.
b.      Dengan Ucapan
Seorang bisa menjadi kafir apabila ia mengatakan bahwa Allah bukanlah Tuhan, Allah itu tidak Esa, Allah memiliki tandingan, pasangan dan anak, malaikat dan nabi itu tidak ada, Al-Qur’an berisi kebohongan, hari kiamat tidak pernah terjadi, syahadat itu dusta, syariat islam tidak untuk mengatur kehidupan manusia,  serta hukum manusia jauh lebih cocok. Selain itu, apabila telah memproklamirkan diri keluar islam dan mengaku dirinya nabi, maka secara otomatis ia telah murtad.
c.       Dengan Keyakinan
Murtad juga terjadi melalui keyakinan, seprti meyakini bahwa alam ini ada sebelum adanya Allah, Allah ada setelah adanya alam, dll.
Keyakinan memang ada dalam hati dan belum terealisasikan. Dengan dimikian, pelaku tidak daoat dihukumi atas tuduhan murtad sebab Rasul bersabda:
عن ابي هريرةقال: قا ل رسول الّله صلي الّله عليه وسلّم إنّ الّله عزّ وجلّ تجا وز لأمّتي ما وسو ست به أنفسها ما لم تعمل أو لم تتكلّم
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah bersabda ‘ sesungguhnya Allah memaafkan dosa umatku apa yang terbesit dalam hatinya selama tidak dilaksanakan atau di ucapkan.’” (HR. Al-Bukhari, Abu Dawud, Al-Tirmidzi, dan Al-Nasai).
2.      Melawan Hukum
Maksudnya yaitu seseorang sengaja mengucapkan atau melakukan apa yang sebelumnya terlintas didalam hati dan ia sadar hal itu akan membuatnya dianggap murtad.  Sementara itu bagi yang tidak mengerti bahwa hal itu dapat berakibat fatal pada keimanannya, ia tidak dianggap murtad. Demikian pula orang yang secara tidak sadar mengucapkannya, “ ya Allah, saya Tuhan dan engkau hamba” karena terlalu gembira atau terlalu sedih, hal itu tidak membuatnya murtad.

E.     SANKSI TERHADAP PELAKU JARIMAH AR-RIDDAH
1.      Sanksi Asli
Sanksi asli terhadap pelaku jarimah adalah dibunuh. Hal ini sebagaimna dijelaskan oleh hadits “dari Ibnu Abbas, ia berkata, Rasul bersabda ‘barang siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah ia’” (HR. Al-Bukhari, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan An-Nasai)
Perihal hukuman mati terhadap orang yang murtad, dikemukakan secara lebih lengkap dalam hadits “kami mendapatkan hadits ini dari Abu Nu’man Muhammad bin Fadhal, dari Hammad bin Zaid, dari Ayub, dari Ikrimah,ia berkata ‘didatangkan orang-orang zindik (murtad) kepada Ali bin Abi Thalib. Ali lalu menghukum mereka dengan membakar mereka. Hal itu didengar oleh Ibnu Abbas, lalu ia berkata ‘kalau saya tidak akan membakar mereka, karena Rasulullah melarang hal itu, tetapi saya akan membunuh mereka karena Rasulullah bersabda bahwa barang siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah ia.” (HR. Al-Bukhari)
Berdasarkan dua hadits shahih diatas, ulama sepakat bahwa pelaku ar-riddah adalah dibunuh, namun pelaksanaanya tidak boleh serta merta dibunuh. Sebelumnya si pelaku diimbau untuk bertaubat dan kembali keagamanya, dan adanya tenggang waktu yang tersedia untuk bertaubat bagi pelaku jarimah ar-riddah.
2.      Sanksi Pengganti
Sebelumnya telah dijelaskan apabila pelaku telah bersedia bertaubat, ia bebas dari hukuman mati. Namun demikian, bukan berarti ia bebas dari hukuman mati sama sekali. Tetapi ada hukum pengganti yaitu hukuman ta’zir. Hukuman ta’zir menjadi wewenang penguasa setempat. Hukuman ini dapat berupa cambukan, penahanan, ganti rugi, atau kecaman.
3.      Sanksi Pelengkap
a.       Pembekuan Aset Harta
Pembekuan aset orang murtad bukan berarti menghilangkan hak kepemilikannya. Ini hanya sebagai sanksi pelengkap, bukan sanksi pokok. Ketika bertaubat, ia tetap berhak atas kekayaannya. Akan tetapi kalau ia terbunuh dalam kondisi masih murtad, asetnya menjadi harta negara.
b.      Pembatasan Kewenangan dalam Membelanjakan Harta Kekayaan
Orang murtad tetap diperbolehkan untuk memindahkan hak miliknya kepada pihak lain dengan cara hibah, jual-beli, atau sewa. Akan tetapi, orang yang murtad tidak diperbolehkan memindahkan hak miliknya dengan cara waris karena adanya perbedaan agama. Seorang yang meninggal dalam kondisi murtad, harta kekayaannya harus dibekukan. Kalau tetap dibelanjakan hal itu dinilai batil, karena harta itu hak kaum muslimin yang doberikan melalui baitul mal atau berstatus fai’i.


[1] M. Nurul Irfan dan Masyrofah, FIQH JINAYAH, Amzah, Jakarta. Hal.51
[2] Ibid. Hal.48-50
[3] M. Nurul Irfan dan Masyrofah, FIQH JINAYAH, Amzah, Jakarta. Hal.76
[4] Ibid. Hal 78

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Halaman Terakhir (Perihal Memilih Untuk Menyudahi)

Ada satu hal yang membuatku ingin terus membuka halaman per halaman. Menantangku untuk mengetahui sesuatu yang akan terjadi berikutnya. Tiap...