Disusun Oleh: Sofiyatun Nur Khasanah
Kondisi yang plural terdiri dari perbedaan suku, ras, dan
agama di suatu negara membuat warga negaranya harus hidup berdampingan dengan
yang lain, dari keadaan plural inilah tak jarang dari mereka merasakan jatuh
cinta antar umat beragama yang kemudian hendak direalisasikan dalam perkawinan beda
agama. Perkawinan beda agama sampai saat ini masih menjadi kontroversi
tersendiri di suatu negara. Ada negara yang tegas melarang, namun tak sedikit
pula yang masih memberi peluang untuk melakukan perkawinan beda agama dengan
beberapa ketentuan yang dipersulit.
Perkawinan beda agama diberbagai negara mempunyai peraturannya sendiri. Melalui peraturan dan perundang-undangannya masing-masing negara mengeluarkan
regulasi bahwa perkawinan beda agama itu dilarang. Pelarangan ini bersifat
mutlak bagi wanita muslim yang hendak menikahi laki-laki non-muslim. Namun
untuk laki-laki muslim diberi pengecualian boleh menikahi wanita non-muslim
dalam keadaan tertentu, yaitu wanita tersebut haruslah wanita dari golongan ahli
kitab (pengikut agama Yahudi dan Nasrani sebelum kedatangan agama Islam).
Beberapa negara yang mengeluarkan regulasi tersebut adalah Afghanistan,
Algeria, Bangladesh, Bahrain
(Pasal 11 Undang-Undang Nomor 19 tahun 2009), Brunei, Djibouti, Egypt, Irak, Iran,
Jordan, Kuwait, Libya (Pasal 12 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1984 tentang Hukum
Keluarga), Malaysia,Maroko (Pasal 39 ayat (4) Undang-Undang Status Pribadi
tahun 2004), Oman, Qatar, Sudan, Uni Emirat Arab (Pasal 47 Undang-Undang Nomor
28 tahun 2005), Gaza, Lebanon, Maladewa, Pakistan, Arab Saudi, Somalia,
Tunisia, Yaman, dan Indonesia.
Di Malaysia
misalnya, laki-laki muslim diperbolehkan menikahi wanita non-muslim selagi
wanita tersebut adalah golongan dari ahli kitab. Di negara Malaysia,
kriteria dari ahli kitab sendiri diperketat yaitu seorang wanita yang
nenek moyangnya berasal dari Bani Ya’qub, seorang wanita yang nenek moyangnya
adalah orang Kristen sebelum kenabian Nabi Muhammad, seorang wanita Yahudi yang
nenek moyangnya adalah orang Yahudi sebelum kenabian Nabi Isa. Pengadilan Malaysia mengatakan bahwa selama tidak ada larangan
dalam suatu agama untuk melakukan pernikahan beda agama, maka sah-sah saja
dilakukan. Di Libya, melalui Pasal 12 Undang-Undang nomor 10 Tahun 1984 tentang
Hukum Keluarga mengatur bahwa akad nikah dianggap batal jika seorang wanita
muslim menikah dengan pria non-muslim, dan seoramg pria muslim yang menikahi wanita
non-muslim bukan ahli kitab.
Kemudian di
Brunei, pada awalnya pernikahan beda agama antara laki-laki muslim dengan
wanita ahli kitab itu diperbolehkan dan diperketat yaitu Kristen dan Yahudi yang merupakan keturunan Israel. Namun menurut laporan Departemen Luar Negeri pada 2012, pernikahan antara Muslim dengan non-Muslim
tidak di izinkan, dan non-Muslim harus masuk Islam terlebih dahulu, dalam
artian perkawinan beda agama mutlak dilarang tanpa pengecualian. Sementara itu di Iraq, Pasal 17 Undang-Undang Nomor 188 Tahun 1959
menyatakan perkawinan antara perempuan Muslim dengan dilakukan non-Muslim
tidak sah. Pasal 18 lebih lanjut mensyaratkan bahwa pasangan suami istri
haruslah muslim agar pernikahan itu sah. Ini berarti perkawinan beda agama di
Iraq mutlak dilarang. Rata-rata
dari semua negara yang dibahas dalam
jurnal sebelumnya, sebagian besar negara memperbolehkan seorang pria muslim
menikahi wanita non-muslim yang ahli kitab dan melarang pernikahan antar
wanita muslim dengan pria non-muslim, kecuali pria tersebut harus masuk Islam
terlebih dahulu. Lantas
bagaimana perkawinan beda agama di Indonesia?
Menurut
ulama kontemporer yaitu Quraish Shihab, perkawinan beda agama tidak
diperbolehkan dan dilarang. Adapun dasar hukum yang digunakan untuk ber-istinbath
atas permasalahan tersebut adalah surat al-Baqarah ayat 221. Pandangan Quraish
Shihab menurut dalam ayat ini adalah apabila laki-laki muslim menikahi wanita selainahli
kitab dilarang, namun jika wanita tersebut merupakan ahli kitab masih diperbolehkan, atau dalam kaidah hukum
Islam dikategorikan mubah. Hal ini sesuai dengan surat al-Maidah ayat 5.
Dalam surat al-Maidah ayat 5 Quraish Shihab memberi patokan bahwa hanya pria
muslim saja yang boleh menikahi wanita ahli kitab, dan tidak berlaku
sebaliknya yaitu wanita muslim menikahi pria ahli kitab sebagaimana yang
terkandung dalam surat Al-Mumtahanah ayat 10 (yang melarang wanita muslimah
menikahi pria kafir baik ahli kitab maupun musyrik).[1]
Yang
dimaksud dengan ahli kitab menurut Quraish Shihab hanya mencakup dua
golongan saja, yaitu Yahudi dan Nasrani. Pemahaman dan pendapat beliau tidak
serta merta menafsirkan untuk memperbolehkan perkawinan muslim dengan wanita ahli
kitab kecuali dengan kriteria ahli
kitab itu harus benar-benar berpegang pada agama samawi, wanita ahli
kitab tersebut adalah wanita yangt muhsonat, yaitu mampu menjaga
diri dari perbuatan zina dan perbuatan keji lainnya.[2]
Quraish Shihab menjelaskan bahwa ahli kitab yang boleh dikawini adalah
wanita yang terhormat, yang selalu menjaga kesuciannya, dan sangat menghormati
serta mengagungkan kitab suci.
Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, pada Pasal 2 ayat (1) menyatakan “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut masing-masing agama dan kepercayaannya itu”. Bagi sebagian para ahli hukum, pasal ini masih multitafsir sehingga terjadi adanya kekosongan hukum dan masih bisa melakukan perkawinan beda agama dengan menggunakan Perkawinan Campuran dalam GHR sebagai alternatifnya. Namun pasca putusan MK No. 68/PUU/XII/2014 yang memutuskan menolak permohonan uji materi (Judicial Review) Pasal 2 ayat (1), maka perkawinan beda agama secara mutlak tidak diperbolehkan. Putusan ini sudah sesuai dengan nilai-nilai agama, nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila, dan konstitusi UUD 1945. Eksistensi putusan ini telah mampu menampilkan kekuatan hukum larangan beda agama sebagaimana dijelaskan dalam tafsiran Pasal 2 ayat (1) UUP. Sahnya perkawinan yang didasarkan pada hukum agama (Islam) juga terdapat dalam Kompilasi Hukm Islam Pasal 40 (c) dan Pasal 44, Pasal 8 huruf (f), Pasal 118 KHI dan fatwa MUI Nomor: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005. Keputusan Seminar perkawinan beda agama di Universitas Katolik Atmajaya tanggal 21Maret 1987, pada prinsipnya gereja melarang perkawinan campur beda agama.
Kesimpulan:
Perkawinan
beda agama di Indonesia memang begitu sulit untuk dilakukan, untuk orang
beragama Islam misalnya, pasangan yang hendak menikah beda agama menemui kesulitan
untuk mendapat persetujuan KUA. Sehingga tidak jarang banyak pasangan nikah
beda agama yang lebih memilih mnelangsungkan pernikahannya diluar negeri.
Perkawinan
beda agama bertentangan dengan tujuan hukum Islam, yakni tidak dapat memelihara
agama dan keturunan, sebagai mana yang tertuang dalam maqashid al-syariah.
Perkawinan beda agama juga sering menimbulkan banyak terjadinya konflik.
Apabila terjadi distoleransi, maka memunculkan sengketa perkawinan yang
berujung pada perceraian. Perkawinan yang satu agama saja sering terjadi
konflik, apalagi yang berbeda agamanya. Perkawinan
beda agama akan mendatangkan banyak mafsadat nantinya, dan itu harus dihindarkan.
Terdapat suatu kaidah yang bisa dijadikan solusi yaitu kaidah “dar’u
al-mafasid muqaddamun ‘ala jalbi al-mashalih” yaitu mencegah kemafsadatan
diutamakan daripada mendatangkan kemashlahatan, dan bisa menggunakan kaidah
“apabila halal dan haram berkumpul, maka dimenangkan yang haram”.
[1] Quraish
Shihab, Tafsir al-Misbah III (Jakarta: Lentera, 2003), 28.
[2] Quraish
Shihab, Tafsir al-Misbah I (Jakarta: Lentera, 2003), 209.