Pemikiran Ekonomi Islam Menurut Abu Ubaid
(150-224 H)
Abu Ubaid bernama Lengkap Al-Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid
Al-Harawi Al-Azadi Al-Baghdadi. Beliau terlahir dikota Hirrah Khurasan sebelah
barat laut Afganistan pada tahun 150 H dari ayah keturunan Byzantium, maula
dari suku Azad. Abu Ubaid hidup
pada masa Daulah Abasiyah mulai dari khalifah Al mahdi, Beliau merupakan
seorang ulama yang cerdas dan pintar sehingga banyak ulama yang memujinya.
Pada tahun 192 H, Tsabit ibn Nashir ibn Malik, Gubernur Thugur di
masa pemerintahan Khalifah Harun Ar Rasyid, mengangkat Abu Ubaid sebagai qadh’i
(hakim) di Tarsus hingga tahun 210 H. Setelah itu, penulis al-Amwal ini tinggal
di Baghdad selama 10 tahun. Pada tahun 219 H, setelah berhaji ia tinggal di
Mekkah sampai wafat, ia meninggal pada tahun 224 H.[1]
Menurut Ibnu Rohubah “ kita
memerlukan seseorang seperti Abu Ubaid tetapi Abu Ubaid tidak memerlukan kita”.
Sedangkan menurut Ahmad bin Hambal, Abu Ubaid adalah orang yang bertambah
kebaikannya setiap harinya.
Abu ubaid menyusun suatu ikhtisar tentang keuangan publik yang bisa
dibandingkan dengan kitab Al-kharaj Abu Yusuf. Karyanya kitab Al-amwal sangat
kaya dengan sejarah materi ilmu hukum. Para penulis ekonomi Islam banyak
mengutip buku ini. Bahkan telah diterjemahkan kedalam bahasa Urdu tanpa ada
pengantar ataupun analisis terhadap isinya.[2]
Bagi Abu Ubaid satu hari mengarang itu lebih utama baginya dari
pada memukulkan pedang di jalan Allah. Kitab Al-Amwal dari Abu Ubaid merupakan
suatu karya yang lengkap tentang tentang keuangan negara Islam. Kitab al amwal
ini sangat kaya dengan sejarah perekonomian dari separuh pertama abad kedua
Islam. buku ini juga merupakan ringkasan tradisi asli dari Nabi saw dan laporan
para sahabat dan pengikutnya tentang masalah ekonomi.
Kitab al-amwal yang ditulis oleh Abu Ubaid
Al-Qasim Ibn Salam merupakan suatu buku yang membahas keuangan publik,
kebijakan fisikal secara komprehensif. Di dalamnya membahas secara mendalam
tentang hak dan kewajiban negara, pengumpulan dan penyaluran zakat, khums,
kharaj, fai dan berbagai sumber penerimaan negara lainnya.
Buku
ini kaya dengan paparan sejarah ekonomi negara islam pada masa dua abad
sebelumnya, selain itu juga merupakan kompendium yang autentik tentang
kehidupan ekonomi negara Islam pada masa Rasulullah.[3]
Kitab al-amwal dibagi kedalam beberapa
bagian, pada bab pendahuluan, Abu Ubaid membahas hak dan kewajiban pemerintah
terhadap rakyatnya dan hak dan kewajiban
rakyat terhadap pemerintahnya, dengan studi khusus mengenai kebutuhan terhadap
suatu pemerintahan yang adil. Pada bab selanjutnya yang merupakan bab
pelengkap, kitab ini menguraikan berbagai jenis pemasukan negara yang dipercayakan kepada penguasa atas
nama rakyat serta berbagai landasan
hukumnya dalam Al-qur’an dan As-sunnah. Dalam bab ini Abu Ubaid memberikan
prioritas pada pendapatan negara yang menjadi hak Rasulullah, seperti fa’i,
bagian khumus dan safi serta pengalokasiannya, baik dimasa rasulullah saw
maupun setelahnya.
Tiga bagian pertama dari kitab al-amwal
meliputi beberapa bab yang membahas penerimaan fa’i. Dalam hal ini, walaupun
menurut Abu Ubaid fai juga mencakup pendapatan negara yang berasal dari jizyah,
kharaj, dan ushr, tetapi ushr dibahas dalam bab shodaqoh. Sebaliknya, ghanimah
dan fidyah yang tidak termasuk definisi tersebut, dibahas bersama dengan fai.
Pada bagian keempat, sesuai dengan
perluasan wilayah Islam di masa klasik, kitab Al-Amwal berisi pembahasan
mengenai pertahanan, administrasi, hukum internasional dan hukum perang.
Setelah bagian kelima membahas tentang distribusi pendapatan fa’i, bagian
keenam kitab tersebut membahas tentang iqta, ihya al-mawat, dan hima.dua bagian
terakhir ini, masing-masing didedikasikan untuk membahas khums dan shodaqoh.
Dari hasil penelaahan singkat tersebut,
tampak bahwa kitab al-amwal secara khusus memfokuskan pada masalah keuangan
publik (Public Finance). Kitab Al-Amwal menekankan pada isu perpajakan dan
hukum pertahanan serta hukum adminitrasi dan hukum internasional. Oleh karena
itu, pada dua abad pertama sejak Islam diturunkan, kitab ini menjadi salah satu
referensi utama tentang pemikiran hukum ekonomi dikalangan para cendekiawan
muslim.
Secara umum, pada masa hidup Abu Ubaid,
pertanian dipandang sebagai sektor usaha yang paling baik dan utama karena
menyediakan kebutuhan dasar.
Walaupun merupakan sebuah kompendium
mayoritas isinya adalah Hadits Nabi, kitab Al-amwal memberikan informasi
penting mengenai kesuksesan suatu pemerintahan dalam menerapkan berbagai
kebijakan, seperti pemerintahan Khalifah Umar ibn Khattab yang berhasil
membangun dasar-dasar perpajakan dan pemerintahan khalifah Umar ibn Abdul Azis
yang berhasil memperbaiki serta menata ulang sistem perpajakan yang telah
sekian lama rusak. Jika merujuk pada format dan metodologi kitab al-Amwal di
dalam setiap bab, Abu Ubaid menampilkan berbagai ayat, hadits nabi, serta
pendapat para sahabat dan tabi’in bersama-sama dengan pendapat para fuqaha. [4]
Abu Ubaid mendasarkan bukunya pada
ayat-ayat Al-qur’an dan sunnah nabi. Ketika membahas setiap persoalan, Abu
Ubaid biasanya mengacu pada ayat-ayat Al-qur’an, meriwayatkan hadits Nabi,
praktik khalifah yang shalih dan menyelidiki berbagai penafsiran. Setelah
menunjukan kekuatan dan kelemahan pandangan tersebut, Abu Ubaid kemudian
mengemukakan pendapatnya sendiri dengan memberikan alasan-alasan mengapa ia
lebih menyukai pendapat tersebut dibanding yang lainnya.[5]
Abu ubaid tidak memberikan pandangannya
pada suatu kasus jika ia tidak menemukan landasannya dalam Al-Qur’an dan
Hadits. Sehingga, manfaat bagi publik merupakan penentu akhir dalam memilih
alternatif dari ijtihad.
Pemikiran Abu Ubaid merupakan rujukan dalam pengembangan ekonomi
modern, bahkan berdasarkan analisis para pemikir ekonomi muslim kontemporer,
Adam Smith dengan karyanya “The Wealth of Nation” sangat dipengaruhi oleh
pemikiran Abu Ubaid dalam kitab Al- Amwal ini, padahal jarak keduanya cukup
jauh.[6]
Jika isi buku al amwal
Abu Ubaid dievaluasi dari sisi filsafat hukum maka akan tampak bahwa Abu Ubaid
menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Baginya, tujuan dari prinsip ini
akan membawa kepada kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial. Pada dasarnya
ia memiliki pendekatan yang berimbang kepada hak-hak individual, publik dan
negara, jika kepentingan individual berbenturan dengan kepentingan publik maka
ia akan berpihak pada kepentingan publik.
Tulisan-tulisan Abu
Ubaid lahir pada masa Abasiyah sehingga banyak pemikirannya menekankan pada
kebijakan pemerintah untuk membuat suatu keputusan. Khalifah diberikan
kebebasan dalam memilih diantara pandangan Abu Ubaid, yang terpenting
berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis serta untuk kepentingan umum. Contoh, Abu Ubaid
berpendapat bahwa zakat dari tabungan dapat diberikan pada negara ataupun
penerimanya sendiri. Sedangkan zakat komoditas harus diberikan kepada
pemerintah, jika tidak maka kewajiban agama diasumsikan tidak ditunaikan. Abu
Ubaid juga mengakui otoritas pemerintah dalam memutuskan, apakah akan
membagikan kepada penakluk ataupun membiarkan kepemilikannya kepada penduduk
setempat. Abu Ubaid juga menegaskan bahwa kas negara tidak boleh disalahgunakan
untuk kepentingan pemimpin.
Berkaitan dengan pajak
tanah dan poll-tax, ia menyinggung tentang pentingnya keseimbangan
antara kekuatan finansial penduduk non-muslim yang dalam bahasa modern disebut capacity
to pay dan juga memperhatikan kepentingan para penerimanya yaitu golongan
muslim. Dengan demikian Abu Ubaid berusaha menghentikan diskriminasi
(penindasan) dalam perpajakan.
2. Dikotomi
Badui – Urban[8]
Pembahasan mengenai
dikotomi dilakukan Abu Ubaid ketika menyoroti alokasi pendapatan fai’.
Berbeda dengan kaum Badui, kaum Urban (perkotaan) :
1.
ikut serta dalam
keberlangsungan negara dengan berbagai kewajiban administrasi dari semua
muslim.
2.
Memelihara dan
memperkuat pertahanan sipil melalui mibilisasi jiwa dan harta mereka.
3.
Menggalakkan
pendidikan dan pengajaran melalui pembelajaran dan pengajaran Al-Qur’an dan
Al-Sunnah, serta penyebaran keunggulannya(keunggulan kualitas isinya).
4.
Melakukan kontribusi
terhadap keselarasan sosial melalui pembelajaran dan penerapan Hudud.
5.
Memberikan contoh
universalisme islam dengan sholat berjamaah pada waktu jum’at.
Dari keterangan di
atas dapat diketahui bahwa Abu Ubaid mengembangkan suatu negara dengan sistem
administrasi yang baik. Diantara administrasi tersebut ialah:
a)
Pertanahan
b)
Pendidikan
c)
Hukum
Semua kaum mendapatkan
alokasi dari fai’ tersebut, sedangkan kaum badui biasanya tidak ikut
serta melaksanakan kewajiban publik seperti sebagaimana kewajiban kaum urban.
Sehingga kaum badui
tidak menerima manfaat pendapatan fai’ seperti kaum Urban. Kaum Badui hanya
dapat mengklaim sementara terhadap pendapatan fai’ yang hanya saat terjadi
kondisi krisis seperti saat terjadi invasi atau penyerangan musuh, kekeringan
yang dahsyat, dan kerusuhan sipil.
3. Kepemilikan
dalam konteks kebijakan Perbaikan Pertanian
Abu Ubaid mengakui
adanya kepemilikan pribadi dan kepemilikan publik. Sesuatu yang baru dalam
hubungan antara kepemilikan dengan kebijakan perbaikan pertanian ditemukan oleh
Abu Ubaid: yaitu berupa kebijakan pemerintah, seperti Iqta’ tanah gurun
dan deklarasi resmi terhadap kepemilikan individu atas tanah tandus yang
disuburkan. Maka tanah tersebut diberikan dengan persyaratan diolah dan
dibebaskan dari membayar pajak, tetapi jika tanah tersebut di biarkan
menganggur selama 3 tahun berturut-turut, maka akan di denda dan dialihkan
kepemilikan atas nama tanah tersebut. Tanah gurun yang termasuk dalam hima juga
akan di reklamasikan jika tidak ditanami selama 3 tahun dapat ditempati orang
lain. Menurut Abu Ubaid sumber dari publik seperti Air, Padang rumput
Pengembalaan, dan Tambang minyak tidak boleh di monopoli seperti pada Hima. Semua
sumber daya tersebut dikelola untuk negara dan mensejahterakan masyarakat.[9]
4.
Pertimbangan kebutuhan
Pertimbangan kebutuhan
yang di maksud adalah Abu Ubaid sangat tidak setuju ketika pembagian zakat
dibagikan merata kepada 8 kelompok penerima zakat. Karena masing-masing di
antara 8 penerima zakat mempunyai kebutuhan yang berbeda, sehingga zakat tidak
harus sama bagiannya.
Abu Ubaid tidak
memberikan hak zakat kepada orang-orang yang memiliki 40 dirham atau harta
lainnya yang setara, dan di sisi lain orang yang memiliki 200 dirham wajib
mengeluarkan zakat. Dari keterangan di atas, Abu Ubaid meng identifikasikan ada
tiga kelompok sosio-ekonomi yang berkaitan dengan status zakat yaitu:
Ø Kalangan orang kaya
yang terkena wajib zakat.
Ø Kalangan menengah yang
tidak terkena wajib zakat, tetapi juga tidak berhak menerima zakat.
Ø Kalangan penerima
zakat.
Cara mendistribusikan
zakat kepada kalangan penerima zakat, Abu Ubaid mengumpulkan zakat tersebut
kepada petugas pengumpul zakat (amil) dan memberikan zakat sesuai hak-nya. [10]
5.
Peran negara dalam perekonomian
Pemikiran Abu Ubaid yang tertuang
dalam kitab al amwal adalah peranan
negara dalam perekonomian yang mengulas tentang hak negara atas rakyat dan hak
rakyat atas negara, dimana analisis yang digunakan beliau merujuk pada kaidah
hadits-hadits yang berkaitan dengan pemerintahan. Hasil implementasi dari analisis
itu direalisasikan dalam kaidah kontrak kekayaan bagi seluruh kaum muslimin.
Unsur-unsur kontrak itu meliputi:
1.
Azas
pengelolahan harta didasarkan atas ketaqwaan kepada Allah swt
2.
Keberadaan
kekayaan pada komunitas kaum muslimin merupakan tanggung jawab seluruhnya, dan
kepala negara berhak menggunakannya demi kepentingan seluruh kaum muslimin.
3.
Setiap
perbuatan dihadapkan pada tanggungjawab, pemerintah harus menjaga keamanan,
meningkatkan kesejahteraan, melindungi hak-hak rakyat, mengatur kekayaan publik,
dan menjamin terpeliharanya maqasid syariah.
Abu Ubaid
menjadikan keadilan sebagai prinsip dasar (basic princivil) dalam misi
kekhalifahan. Diriwayatkan dari Imam Ali ra “keadilan adalah suatu hak dan
pemerintah wajib menegakan hukum sesuai dengan Allah syariatkan dan menjalankan
amanat, ketika pemerintah melakukan hal tersebut wajib bagi rakyat mendengar,
menaati, memenuhi panggilan negara dan pemerintah”
Khalifah dan
pemerintah menempatkan hukum dan berdasarkan Al-Qur’an dan menyayangi rakyatnya
sebagaimana lelaki menyayangi keluarganya. Peran negara begitu besar dalam
perekonomian karena tugas negara adalah menegakan kehidupan sosial berdasarkan
nila-nilai keadilan yang disyariatkan , seperti penerapan zakat dapat mengikis
kesenjangan sosial dan menumbuhkan kepedulian sosial. Dan dengan mengatur
administrasi keuangan negara seefektif mungkin sehingga penyediaan kebutuhan
pokok, fasilitas umum, distribusi pendapatan dapat menjamin kemaslahatan
umat sehingga terselenggara kegiatan
ekonomi yang berkeadilan. Dimana sasaran beliau adalah legitimasi dari
sosio-politik ekonomi yang stabil dan adil. [11]
6.
Sumber Penerimaan Keuangan Publik
Kitab Al-Amwal Abu Ubaid secara
khusus memusatkan perhatian sekitar keuangan publik (public finance), analisis
yang beliau titik beratkan adalah pada praktek yang dilakukan Rasulullah,
Khulafaurrasyidin, terutama Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul Azis sebagai
contoh ideal dalam pengelolaan keuangan publik. Institusi yang mengelola disebut
Baitul Mal.
Baitul Mal terbentuk setelah perang badar menurut pendapat yang
diunggulkan (qaul Rajih), karena waktu kaum muslim mendapatkan harta rampasan
perang (ghanimah) yang banyak, dan pada waktu tempat penyimpanan kekayaan
negara seperti ghanimah, shadaqoh, dan fa’I adalah masjid.
Setelah melalui perkembangan
beberapa saat kemudian sumber penerima keuangan publik pun bertambah seperti;
kharaj, ‘usyr, dan khums. Dalam kitab Al Amwal banyak harta yang diserahkan
kepada Rasulullah yang berasal dari kaum musyrikin. Pertama, adalah fa'i
ya’tu berupa harta benda dan tanah yang serahkan tanpa melalui peperangan. Fa’i
tidak didistribusikan kepada para tentara seperti halnya ghanimah melainkan
seluruhnya untuk Allah dan utusan_Nya.[12]
Inilah yang menjadi landasanya yaitu firman Allah swt Qs. Hasyr:6
!$tBur uä!$sùr& ª!$# 4n?tã ¾Ï&Î!qßu öNåk÷]ÏB !$yJsù óOçFøÿy_÷rr& Ïmøn=tã ô`ÏB 9@øyz wur 7U%x.Í £`Å3»s9ur ©!$# äÝÏk=|¡ç ¼ã&s#ßâ 4n?tã `tB âä!$t±o 4 ª!$#ur 4n?tã Èe@à2 &äóÓx« ÖÏs% ÇÏÈ
“ Dan apa saja harta rampasan perang (fa’i
) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya ( dari harta benda mereka ) maka untuk
mendapatkan itu kamu tidak kamu tidak
menegrahkan seekor kudapun dan (tidak pula) seekor unta pun, tetapi
Allah yang memberikan kekuasaan pada Rasul-Nya terhadap siapa yang
dikehendakinya”
Kedua, adalah harta
shafi yang Rasulullah saw dipilih dari ghanimah yang diperoleh kaum muslimin
sebelum harta itu dibagikan. Sebagaimana riwayat Ibnu Abbas dari Rasulullah saw
“ Berikanlah dari harta ghanimah bagian Rasulullah dan shafi”.
Ketiga, adalah harta
1/5 dari ghanimah yang telah dibagi.
Namun perlu
diketahui bahwa sebagaimana menurut takwil Umar bin Khattab ada tiga harta yang
masuk dalam keuangan publik yaitu: shodaqoh, fa’i, dan khumus. Tetapi menurut
Abu Ubaid harta yang masuk dalam keuangan publik, yaitu sebagai berikut:[13]
1.
Shodaqoh/Zakat
Dalam
hal ini, shodaqoh wajib atau yang disebut zakat harta seperti zakat emas,
perniagaan, unta, sapi, kambing, biji-bijian dan buah-buahan. Dimana dari zakat
harta ini dialokasikan untuk delapan golongan yang Allah sebutkan dalam
Al-Qur’an, tidak seorang pun berhak atas zakat tersebut kecuali mereka dan
merupakan kewajiban pada setiap harta apabila telah mencapai nisab dan haul
untuk dikeluarkan zakatnya.
Mengenai shodaqoh wajib ini, mulai disyariatkan pada tahun kedua
hijriyah, ayat-ayat Al-qur’an sebagai berikut: “........dan dirikanlah sholat
dan tunaikanlah zakat...”( Qs. Al-Baqarah:43)
“....dan
tunaikanlah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka...” (Qs. At-Taubah:103)
“....dan
tunaikanlah haknya dihari memetik hasilnya (hendak dikeluarkan
zakatnya).......”(Qs. Al-An’am:141)
Namun yang perlu diketahui, Abu Ubaid
mengungkapkan ketentuan yang disepakati (tidak ada ikhtilaf), yaitu apabila
sesorang memiliki harta yang wajib dizakati diantaranya 200 dirham, 20 dinar, 5
ekor unta, 30 ekor sapi, atau 40 ekor kambing. konsekuensinya, bila seseorang
memiliki salah satu diatas dari awal haul sampai akhir, maka wajib mengeluarkan
zakatnya yang dinamakan nishab oleh Imam Malik dan penduduk madinah sedangkan
penduduk Iraq menyebutnya asal harta.
2.
Fa’i
Fa’i
menurut bahasa adalah ar’rujuu berarti kembali, sedangkan menurut istilah fiqh
adalah sesuatu yang diambil dari harta ahli kitab dengan cara damai tanpa
peperangan atau setelah peperangan itu berakhir, disebut fa’i karena Allah
mengembalikan harta tersebut kepada kaum muslimin .
Menurut
versi Abu Ubaid adalah sesuatu yang diambil dari harta dzimmah perdamaian atas
jizyah dari mereka, yang sebab itu jiwa mereka dilindungi dan dihormati. Harta
fa’i digunakan untuk kepentingan pemerintah dan kesejahteraan umat.
Bagian-bagian dari fa’i adalah;
a.
Kharaj
Kharaj
menurut bahasa ghullah yaitu penghasilan atau tanah taklukan kaum muslimin
dengan jalan damai yang pemiliknya menawarkan untuk mengelola tanah itu sebagai
pengganti sewa tanah dan bersedia memberikan sebagian dari hasil produksinya.
Jumlah khurujnya setengah dari hasil produksi.
b.
Jizyah[14]
Jizyah
berasal dari kata jaza yang berarti imbalan atau kompensasi. Jizyah adalah
pajak tahunan yang wajib dibayarkan oleh non muslim khususnya ahli kitab untuk
jaminan perlindungan jiwa, properti, ibadah, dan harta atau budak yang tinggal
diwilayah pemerintah Islam. orang-orang non muslim disebut kafir dzimmi atau
orang-orang yang dilindungi. Pajak ini juga disebut upeti atau poll-tax.
Pada
masa Rasulullah saw, ketika memerintahkan kepada Muadz ibn Jabal atas ahli
kitab di Yaman besarnya jizyah bagi masing-masing individu:
-
1
dinar atau
-
30
ekor sapi ( umur 1 tahun)
-
40
ekor sapi, jizyahnya 1 ekor musinah
-
Penghasilan
dari tanah 1/10 bila diairi dengan hujan dan 1/5 bila menggunakan biaya.
Jizyah dipungut
berdasarkan ketetapan Al-qur’an, Qs. At-Taubah:29 yang memerintahkan kaum
mukminin: “perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak
(pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan
oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama
Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai
mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam Keadaan tunduk.”
c.
Khumus
Khumus menurut
Abu Ubaid adalah 1/5 ghanimah dari ahli harbi, rikaz dan luqatah. Dalam
pembahasan khumus Abu Ubaid menyebutkan bahwa harta yang terkena khumus yaitu
sebagai berikut.[15]
Pertama beliau menafsirkan itu ghanimah sesuai firman Allah dalam Qs.
Al-Anfal:41. Kedua, khumus yang diperoleh dari harta penambangan ataupun
mineral dari harta yang terpendam/rikaz dan dipungut oleh negara Islam sebesar
20%. Ketiga, khumus pada harta yang dipendam, sebagaimana terjadi ketika
mujahid dari asy’sya’abi dimana seorang lelaki menemukan 1000 dinar yang
dipendam diluar kota kemudian datang
kepada Umar dan Umar mengambil 1/5 dari harta sebesar 200 dinar dan sisanya
diberikan kepada orang yang menemukan. Kemudian 200 dinar itu dibagikan kepada
kaum muslim. Keempat, khums juga ditarik atas apa yang diambil dari laut
seperti mutiara, ambergris dan lainnya. Dilaporkan bahwa Khalifah Umar menarik
khums dari mutiara dan menunjuk Yaali bin Ummayah sebagai pemungutnya.
Namun, perlu
diketahui bahwa Abu Ubaid menyatakan bahwa ada tiga hukum yang dilakukan Umar
pada harta benda yang dipendam. Pertama, harta itu diambil khumusnya dan
sisanya diberikan kepada yang menemukan. Kedua, yang menemukan tidak diberikan
harta itu, namun diserahkan sepenuhnya ke Baitul mal. Ketiga, harta itu
diberikan sepenuhnya kepada yang menemukan dan tidak diserahkan ke Baitul mal.
d.
Al
‘usyr
Al-‘usyr
merupakan jam’ dari kata ‘usyrun yaitu satu bagian dari sepuluh. Sedangkan
menurut fuqaha terdapat dua pengertian, pertama ‘usyr zakat yaitu sesuatu yang
diambil dari zakat tanaman dan buah-buahan (Qs. Al-An’am:141). Kedua, ‘usyr
adalah sesuatu yang diambil dari harta kafir dzimmi yang melintas untuk
perniagaan. Istilah usyr tidak dijumpai dalam Al-qur’an, tetapi dua ayat (Qs.
Al-baqarah:276 dan Al-An’am:141) dipakai untuk merujuk padanya dan berdasarkan
kedua ayat itulah usyr dipungut.[16]
7.
Pembelanjaan Penerimaan Keuangan Publik
Dalam masalah distribusi pendapatan
memang erat kaitanya antara penerimaan dan pembelanjaan/pengalokasian untuk
kepentingan publik.
Abu Ubaid menyebutkan kaidah mendasar
dalam membatasi orang yang berhak atas kekayaan publik. Selanjutnya, bahwa
zakat diambil dari mereka yang kaya dan dikembalikan pada mereka yang
membutuhkan yaitu 8 golongan yang disebutkan dalam Al-qur’an. Bagaimanapun
pendistribusian harta dalam Islam itu sangat penting dimana Rasulullah saw
telah memberi batasan, yaitu seseorang yang tertimpa musibah besar dan
memusnahkan harta bendanya dan seseorang yang tertimpa kemiskinan.
Abu Ubaid mengkhususkan sendiri
mengenai persamaan manusia dalam kekayaan publik. Mengenai hal ini, diantaranya
adalah komentar Abu Bakar ra, ketika datang padanya harta (fa’i/ghanimah), ia
menjadikan (bagian) manusia sama, dan berkata “ aku menginginkan terhindar dari
meminta-minta dan memurnikan perjuangan (jihad)ku bersama Rasulullah saw,
kelebihan mereka adalah disisi Allah, adapun dalam kehidupan ini persamaan
adlah hal yang baik.”
Dalam pendistribusian pengeluaran
dari penerimaan khumus (khumus ghanimah, khumus barang tambang dan rikaz serta
khumus lainnya) adalah ketentuan dari Rasulullah. Karena dana-dana publik
merupakan kekayaan publik maka dialokasikan untuk kesejahteraan publik, seperti
kesejahteraan anak-anak, korban bencana, santunan dan lainnya. [17]
8.
Hukum Pertanahan
Pemikiran Abu Ubaid mengenai
hubungan antar rakyat dan negara demi stabilitas kesejahteraan rakyat dan
negara selain masalah administrasi keuangan publik yang terdapat dalam kitab al
amwal, beliau berbicara mengenai hukum pertahanan.
Para fuqaha membagi tanah yang
berada dalam wilayah negara islam menjadi tanah ‘usyr dan kharaj. Dan Abu Uabid
menyebutkan hukum pembagian tanah ‘usyr yang bukan kharaj ada 4 macam:
pertama, setiap tanah yang diserahkan oleh pemiliknya kepada negara,
seperti tanah madinah, mekkah, thaif dan Yaman. Kedua, setiap tanah yang
diambil kemudian negara tidak melihat menjadikannya fa’i, akan tetapi
menjadikannya ghanimah yang dibagi empat dari 1/5 yang diambil diantara mereka
yang turut menaklukan khususnya seperti yang telah dilakukan Rasulullah
terhadap tanah khaibar. Ketiga, tanah biasa yang tidak diurusi dan
dianggap, kemudian oleh kepala negara dipetakan kepada seseorang dijazirah arab
atau daerah lainnya, seperti yang dilakukan Rasulullah dan Khulafaurrasyidin
yang meng-iqtha tanah Yaman, Yamamah, Basrah. Keempat, setiap tanah yang
mati dan dihidupkan oleh seorang muslim dengan mengairi dan menanaminya.
Berikut ini adalah hukum-hukum pertahanan yang dikemukakan oleh Abu Ubaid; [18]
a.
Iqtha
Iqtha
ialah tanah yang diberikan oleh kepala negara kepada seorang rakyatnya untuk menguasai
sebidang tanah dengan mengabaikan yang lainnya.
Dalam
kitab Al-amwal, Abu Ubaid menafsirkan tanah bisa dijadikan iqtha dan yang tidak
bisa. Dan biasanya setiap daerah atau tanah yang dihuni pada masa yang lama,
kemudian ditinggalkan penghuninya maka keputusan hukum tanah itu diserahkan
kepada kepala negara.
Kepala
negara, begitu juga setiap tanah yang mati (tidak digarap) tidak ada seseorang
yang mengelolanya dan tidak dimiliki oleh orang Islam atuapun orang kafir. Umar
ra. Mengirim surat kepada Abu Musa “ jika tanah itu bukan tanah jizyah dan
bukan tanah yang dialiri air jizyah, maka aku akan meng-iqtha tanah itu
baginya.”
Sementara
kasus lain bahwa Rasulullah meng-iqthakan tanah kepada zubair yang ada pohon
kurma dan pepohonan. Kami melihat tanah itu pernah Rasulullah meng-iqthakan
kepada kaum Anshar untuk mengelola dan mendiaminya. Kemudian tanah itu
ditinggalkan, maka Rasulullah meng-iqthakan kepada Zubair.
Jadi,mengenai
meng-iqtha hendaknya pemerintah menurut Abu Ubaid tidak meng-iqtha tanah kharaj,
karena tanah kharaj adalah tanah yang produktif
memberikan hasil dan dapat menambah devisa negara. Disisi lain, dengan
memetakan tanah kharaj dapat memberi manfaat untuk para pengembala hewan
ternak, dimana hal ini dapat menambah pertambahan produksi hewan yang sama
pentingnya dengan masalah pertanian.
b.
Ihya
al mawat
Al Mawat adalah tanah yang mati, tandus tidak terurus, tidak ada
pemiliknya dan tidak dimanfaatkan. Sedangkan maksud ihya al Mawat adalah
membuka kembali lahan yang mati itu dengan membersihkannya, mengairi,
mendirikan bangunan, dan menanamkan kembali benih-benih kehidupan pada lahan
tersebut. Dalam hal ini negara berhak menguasai tanah yang mati dengan
menjadikannya milik umum yang semua manfaatnya diserahkan kepada kemaslahatan
umat.
Mengenai ihya
al Mawat, Abu Ubaid membagi menjadi tiga bagian:
1.
Seseorang
datang ketanah tersebut lalu mengelola dan mendiaminya kemudian datang orang
lain yang memperbaharui tanaman dan bangunan agar menjadi haknya tanah yang
dikelola oleh orang sebelumnya. Dalam hal ini perbuatan orang tiu disebut al-irrqi
al-Zhalim; perbuatan atas sesuatu yang bukan haknya dan ingin memiliknya.
Adapun yang berhak atas tanah itu adalah orang yang pertama, seperti hadits
riwayat Abu Hisyam, Rasulullah saw bersabda “ siapa saja yang menghidupkan
tanah mati maka tanah itu jadi miliknya dan tidak ada hak bagi irqi zalim.”
2.
Kepala
negara meng-iqthakan kepada seseorang
tanah mati, dan tanah itu menjadi milik penerima iqtha, kemudian orang
itu menyia-nyiakan dengan tidak mengelola dan tidak mendiaminya, sehingga
datang orang lain lalu mengelola dan mendiami serta menyangka tanah ini tidak
ada yang mengurus. Dalam hal ini, pendapat Au Ubaid merujuk pada yang dilakukan
Umar ra, terhadap orang yang tidak memperoleh iqtha’ pada masa Rasulullah.
Kemudian ditelantarkan sampai pada masa Umar ra dan tanah itu digarap oleh
orang lain, dengan berkata “kalau bukan iqtha’ adri Rasulullah aku tidak akan
memberimu sedikitpun”
3.
Jika
seseorang membangun tembok tanah apakah dengan iqtha’ dari pemerintah atau
tidak kemudian meninggalkanya pada waktu yang lama dengan tidak mendiaminya.
Abu Ubaid berkata “pada sebagian hadits dari Umar, bahwa ia memberi batas tiga
tahun dan melarang orang lain mendiami tempat tersebut”.
Selanjutnya,
menurut Abu Ubaid bila tanah produk ihya’ al mawat ini menghasilkan sesuatu
dengan mengairi dan menanaminya, maka dikenakan zakat 1/10 untuk 8 mustahiq
zakat.
c.
Hima
Dalam hal ini yang
dinamakan hima adalah perlindungan, menurut Abu Ubaid adalah tempat dari tanah
yang tidak berpenduduk yang dilindungi oleh kepala negara untuk tempat
mengmbala hewan-hewan ternak.
Dimana
tanah hima ini adalah tanah yang mendapat perlindungan dari pemerintah, namun
dapat dimanfaatkan oleh seluruh umat, seperti air, rumput, tanaman, hal ini
sesuai dengann sabda Rasulullah saw, “ orang muslim adalah saudara bagi muslim
yang lainnya, yang memberi mereka keleluasaan air dan rumput”.
9.
Fungsi uang
Menurut Abu Ubaid terdapat dua
fungsi uang yang tidak mempunyai nilai intrinsik sebagai standar dari nilai
pertukaran dan sebagai media pertukaran. Dalam hal ini ia menyatakan ;
“ Adalah hal yang tidak diragukan
lagi bahwa emas dan perak tidak layak
untuk apapun kecuali keduanya menjadi harga dari barang dan jasa. Keuntungan
yang paling tinggi yang dapat diperoleh dari kedua barang ini adalah
penggunaanya untuk membeli sesuatu”.
Pernyataan Abu Ubaid tersebut
menunjukan bahwa ia mendukung teori konvesional mengenai uang logam. Walaupun
sama sekali tidak menjelaskan mengapa emas dan perak tidak layak untuk apapun
kecuali keduanya menjadi harga dari barang dan jasa. Tampaknya, Abu Ubaid
merujuk pada kegunaan umum dan relatif konstannya nilai dari kedua benda
tersebut dibandingkan dengan komoditas lainnya. Disamping itu, Abu Ubaid secara
implisit mengakui adanya fungsi uang sebagai penyimpanan nilai ketika membahas
jumlah tabungan minimum tahunan yang wajib terkena zakat. [19]
Salah satu ciri khas kitab al Amwal
diantara kitab-kitab lain yang membahas tentang keuangan publik (public
finance) adalah pembahasan tentang timbangan dan ukuran, yang biasa digunakan
dalam menghitung beberapa kewajiban agama yang berkaitan dengan harta atau
benda dalam bab khusus. Dalam bab ini Abu Ubaid juga menceritakan tentang
khilafah Abdul Al Malik Ibn Al Marwan dalam melakukan standarisasi dari
berbagai jenis mata uang yang ada dalam sirkulasi.[20]
Hasil karyannya ada
sekitar 20, baik dalam bidang ilmu Nahwu, Qira’ah, Fiqih, Syair dan
lain-lain. Yang terbesar dan terkenal adalah Kitab Al –Amwal dalam bidang Fiqih.
kitab Al –Amwal dari Abu Ubaid merupakan suatu karya yang lengkap tentang
keuangan negara dalam islam.
Buku ini sangat kaya
dengan sejarah perekonomian dari paruh pertama Abad ke 2 H. Buku ini juga
merupakan rangkuman ( compendium ) tradisi asli ( authentic )
dari Nabi dan Atsar para sahabat dan tabi’in tentang masalah
ekonomi. Sedikitnya ada 4 jenis produk hukum islam yang ada selama ini, yaitu
kitab-kitab Fiqih, keputusan-keputusan pengadilan agama, peraturan
perundangan di negeri-negeri muslim, dan fatwa-fatwa.
Kitab
al Amwal merupakan sebuah mahakarya tentang ekonomi yang dibuat oleh Abu Ubaid
yang menekankan beberapa issu mengenai perpajakan, hukum, serta hukum administrasi
dan hukum internasional. Kitab Al-Amwal secara komprehensif membahas tentang
sistem keuangan publik islam terutama pada bidang administrasi pemerintahan. Kitab
ini juga memuat sejarah ekonomi Islam selama dua abad pertama hijriyah, dan
merupakan sebuah ringkasan tradisi Islam asli dari Nabi, para sahabat dan para
pengikutnya mengenai permasalahan ekonomi. Abu ubaid, dalam Kitab Al-Amwal,
banyak mengutip pandangan dan perlakuan ekonomi dari imam dan ulama terdahulu.
Ia sering mengutip pandangan Malik ibn Anas dan pandangan sebagian besar ulama
madzhab Syafi’i lainnya, dan juga mengutip beberapa ijtihad Abu Hanifah, Abu
Yusuf dan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani.[21]
[1]
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada,2012), 264.
[2]
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: The
International Institute Of Islamic Tought Indonesia,2002), 13.
[3]
P3EI UII Yogyakarta, Ekonomi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2013),
108.
[4]
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada,2012), 267-270.
[5]
Sabahuddin Azmi, Menimbang Ekonomi Islam, (Bandung: Nuansa, 2005), 50.
[6]
http://wwwmuhammadisnan.blogspot.co.id/2012/05/pemikiran-ekonomi-abu-ubaid.html?m=1
(dikutip pada tanggal 21-10-2016 pukul 12.41)
[7]
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, 272-273
[8]
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam,( Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada,2012), 275.
[9] [9]
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, ( Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada,2012), 277
[10]
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam,( Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada,2012), 278-279.
[11]
Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Depok:Gramata Publishing, 2010),
145.
[12]
Muhammad Sharif Chaudhry, Sistem Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2012), 264.
[13]
Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Depok:Gramata Publishing, 2010),
147-150.
[14]
Muhammad Sharif Chaudhry, Sistem Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2012), 261.
[15]
Muhammad Sharif Chaudhry, Sistem Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2012), 260-261.
[16]
Muhammad Sharif Chaudhry, Sistem Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2012), 258.
[17]
Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Depok:Gramata Publishing,
2010),150-151.
[18]
Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Depok:Gramata Publishing, 2010),
151-153.
[19]
Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Depok:Gramata Publishing,2010),
155.
[20]
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Peimikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada,2012), 270-280.
[21]
http://ekonomi-islam.com/pemikiran-abu-ubaid-dalam-ekonomi
(dikutip pada tanggal 21 September 2016).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar