Sabtu, 07 Januari 2017

Pemikiran Ekonomi Islam Abu Ubaid



Pemikiran Ekonomi Islam Menurut Abu Ubaid

(150-224 H)
Abu Ubaid bernama Lengkap Al-Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid Al-Harawi Al-Azadi Al-Baghdadi. Beliau terlahir dikota Hirrah Khurasan sebelah barat laut Afganistan pada tahun 150 H dari ayah keturunan Byzantium, maula dari suku Azad. Abu Ubaid hidup pada masa Daulah Abasiyah mulai dari khalifah Al mahdi, Beliau merupakan seorang ulama yang cerdas dan pintar sehingga banyak ulama yang memujinya.
Pada tahun 192 H, Tsabit ibn Nashir ibn Malik, Gubernur Thugur di masa pemerintahan Khalifah Harun Ar Rasyid, mengangkat Abu Ubaid sebagai qadh’i (hakim) di Tarsus hingga tahun 210 H. Setelah itu, penulis al-Amwal ini tinggal di Baghdad selama 10 tahun. Pada tahun 219 H, setelah berhaji ia tinggal di Mekkah sampai wafat, ia meninggal pada tahun 224 H.[1]
 Menurut Ibnu Rohubah “ kita memerlukan seseorang seperti Abu Ubaid tetapi Abu Ubaid tidak memerlukan kita”. Sedangkan menurut Ahmad bin Hambal, Abu Ubaid adalah orang yang bertambah kebaikannya setiap harinya.
Abu ubaid menyusun suatu ikhtisar tentang keuangan publik yang bisa dibandingkan dengan kitab Al-kharaj Abu Yusuf. Karyanya kitab Al-amwal sangat kaya dengan sejarah materi ilmu hukum. Para penulis ekonomi Islam banyak mengutip buku ini. Bahkan telah diterjemahkan kedalam bahasa Urdu tanpa ada pengantar ataupun analisis terhadap isinya.[2]
Bagi Abu Ubaid satu hari mengarang itu lebih utama baginya dari pada memukulkan pedang di jalan Allah. Kitab Al-Amwal dari Abu Ubaid merupakan suatu karya yang lengkap tentang tentang keuangan negara Islam. Kitab al amwal ini sangat kaya dengan sejarah perekonomian dari separuh pertama abad kedua Islam. buku ini juga merupakan ringkasan tradisi asli dari Nabi saw dan laporan para sahabat dan pengikutnya tentang masalah ekonomi.

     Kitab al-amwal yang ditulis oleh Abu Ubaid Al-Qasim Ibn Salam merupakan suatu buku yang membahas keuangan publik, kebijakan fisikal secara komprehensif. Di dalamnya membahas secara mendalam tentang hak dan kewajiban negara, pengumpulan dan penyaluran zakat, khums, kharaj, fai dan berbagai sumber penerimaan negara lainnya.
Buku ini kaya dengan paparan sejarah ekonomi negara islam pada masa dua abad sebelumnya, selain itu juga merupakan kompendium yang autentik tentang kehidupan ekonomi negara Islam pada masa Rasulullah.[3]
     Kitab al-amwal dibagi kedalam beberapa bagian, pada bab pendahuluan, Abu Ubaid membahas hak dan kewajiban pemerintah terhadap rakyatnya dan hak dan  kewajiban rakyat terhadap pemerintahnya, dengan studi khusus mengenai kebutuhan terhadap suatu pemerintahan yang adil. Pada bab selanjutnya yang merupakan bab pelengkap, kitab ini menguraikan berbagai jenis pemasukan  negara yang dipercayakan kepada penguasa atas nama rakyat  serta berbagai landasan hukumnya dalam Al-qur’an dan As-sunnah. Dalam bab ini Abu Ubaid memberikan prioritas pada pendapatan negara yang menjadi hak Rasulullah, seperti fa’i, bagian khumus dan safi serta pengalokasiannya, baik dimasa rasulullah saw maupun setelahnya.
     Tiga bagian pertama dari kitab al-amwal meliputi beberapa bab yang membahas penerimaan fa’i. Dalam hal ini, walaupun menurut Abu Ubaid fai juga mencakup pendapatan negara yang berasal dari jizyah, kharaj, dan ushr, tetapi ushr dibahas dalam bab shodaqoh. Sebaliknya, ghanimah dan fidyah yang tidak termasuk definisi tersebut, dibahas bersama dengan fai.
     Pada bagian keempat, sesuai dengan perluasan wilayah Islam di masa klasik, kitab Al-Amwal berisi pembahasan mengenai pertahanan, administrasi, hukum internasional dan hukum perang. Setelah bagian kelima membahas tentang distribusi pendapatan fa’i, bagian keenam kitab tersebut membahas tentang iqta, ihya al-mawat, dan hima.dua bagian terakhir ini, masing-masing didedikasikan untuk membahas khums dan shodaqoh.
     Dari hasil penelaahan singkat tersebut, tampak bahwa kitab al-amwal secara khusus memfokuskan pada masalah keuangan publik (Public Finance). Kitab Al-Amwal menekankan pada isu perpajakan dan hukum pertahanan serta hukum adminitrasi dan hukum internasional. Oleh karena itu, pada dua abad pertama sejak Islam diturunkan, kitab ini menjadi salah satu referensi utama tentang pemikiran hukum ekonomi dikalangan para cendekiawan muslim.
     Secara umum, pada masa hidup Abu Ubaid, pertanian dipandang sebagai sektor usaha yang paling baik dan utama karena menyediakan kebutuhan dasar.
     Walaupun merupakan sebuah kompendium mayoritas isinya adalah Hadits Nabi, kitab Al-amwal memberikan informasi penting mengenai kesuksesan suatu pemerintahan dalam menerapkan berbagai kebijakan, seperti pemerintahan Khalifah Umar ibn Khattab yang berhasil membangun dasar-dasar perpajakan dan pemerintahan khalifah Umar ibn Abdul Azis yang berhasil memperbaiki serta menata ulang sistem perpajakan yang telah sekian lama rusak. Jika merujuk pada format dan metodologi kitab al-Amwal di dalam setiap bab, Abu Ubaid menampilkan berbagai ayat, hadits nabi, serta pendapat para sahabat dan tabi’in bersama-sama dengan pendapat para fuqaha. [4]
     Abu Ubaid mendasarkan bukunya pada ayat-ayat Al-qur’an dan sunnah nabi. Ketika membahas setiap persoalan, Abu Ubaid biasanya mengacu pada ayat-ayat Al-qur’an, meriwayatkan hadits Nabi, praktik khalifah yang shalih dan menyelidiki berbagai penafsiran. Setelah menunjukan kekuatan dan kelemahan pandangan tersebut, Abu Ubaid kemudian mengemukakan pendapatnya sendiri dengan memberikan alasan-alasan mengapa ia lebih menyukai pendapat tersebut dibanding yang lainnya.[5]
     Abu ubaid tidak memberikan pandangannya pada suatu kasus jika ia tidak menemukan landasannya dalam Al-Qur’an dan Hadits. Sehingga, manfaat bagi publik merupakan penentu akhir dalam memilih alternatif dari ijtihad.
Pemikiran Abu Ubaid merupakan rujukan dalam pengembangan ekonomi modern, bahkan berdasarkan analisis para pemikir ekonomi muslim kontemporer, Adam Smith dengan karyanya “The Wealth of Nation” sangat dipengaruhi oleh pemikiran Abu Ubaid dalam kitab Al- Amwal ini, padahal jarak keduanya cukup jauh.[6]
1.       Filosofi Hukum dari Sisi Hukum[7]
Jika isi buku al amwal Abu Ubaid dievaluasi dari sisi filsafat hukum maka akan tampak bahwa Abu Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Baginya, tujuan dari prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial. Pada dasarnya ia memiliki pendekatan yang berimbang kepada hak-hak individual, publik dan negara, jika kepentingan individual berbenturan dengan kepentingan publik maka ia akan berpihak pada kepentingan publik.
Tulisan-tulisan Abu Ubaid lahir pada masa Abasiyah sehingga banyak pemikirannya menekankan pada kebijakan pemerintah untuk membuat suatu keputusan. Khalifah diberikan kebebasan dalam memilih diantara pandangan Abu Ubaid, yang terpenting berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis serta untuk kepentingan umum. Contoh, Abu Ubaid berpendapat bahwa zakat dari tabungan dapat diberikan pada negara ataupun penerimanya sendiri. Sedangkan zakat komoditas harus diberikan kepada pemerintah, jika tidak maka kewajiban agama diasumsikan tidak ditunaikan. Abu Ubaid juga mengakui otoritas pemerintah dalam memutuskan, apakah akan membagikan kepada penakluk ataupun membiarkan kepemilikannya kepada penduduk setempat. Abu Ubaid juga menegaskan bahwa kas negara tidak boleh disalahgunakan untuk kepentingan pemimpin.
Berkaitan dengan pajak tanah dan poll-tax, ia menyinggung tentang pentingnya keseimbangan antara kekuatan finansial penduduk non-muslim yang dalam bahasa modern disebut capacity to pay dan juga memperhatikan kepentingan para penerimanya yaitu golongan muslim. Dengan demikian Abu Ubaid berusaha menghentikan diskriminasi (penindasan) dalam perpajakan.
2.       Dikotomi Badui – Urban[8]
Pembahasan mengenai dikotomi dilakukan Abu Ubaid ketika menyoroti alokasi pendapatan fai’. Berbeda dengan kaum Badui, kaum Urban (perkotaan) :
1.         ikut serta dalam keberlangsungan negara dengan berbagai kewajiban administrasi dari semua muslim.
2.         Memelihara dan memperkuat pertahanan sipil melalui mibilisasi jiwa dan harta mereka.
3.         Menggalakkan pendidikan dan pengajaran melalui pembelajaran dan pengajaran Al-Qur’an dan Al-Sunnah, serta penyebaran keunggulannya(keunggulan kualitas isinya).
4.         Melakukan kontribusi terhadap keselarasan sosial melalui pembelajaran dan penerapan Hudud.
5.         Memberikan contoh universalisme islam dengan sholat berjamaah pada waktu jum’at.
Dari keterangan di atas dapat diketahui bahwa Abu Ubaid mengembangkan suatu negara dengan sistem administrasi yang baik. Diantara administrasi tersebut ialah:
a)         Pertanahan
b)         Pendidikan
c)         Hukum
Semua kaum mendapatkan alokasi dari fai’ tersebut, sedangkan kaum badui biasanya tidak ikut serta melaksanakan kewajiban publik seperti sebagaimana kewajiban kaum urban.
Sehingga kaum badui tidak menerima manfaat pendapatan fai’ seperti kaum Urban. Kaum Badui hanya dapat mengklaim sementara terhadap pendapatan fai’ yang hanya saat terjadi kondisi krisis seperti saat terjadi invasi atau penyerangan musuh, kekeringan yang dahsyat, dan kerusuhan sipil.
3.       Kepemilikan dalam konteks kebijakan Perbaikan Pertanian
Abu Ubaid mengakui adanya kepemilikan pribadi dan kepemilikan publik. Sesuatu yang baru dalam hubungan antara kepemilikan dengan kebijakan perbaikan pertanian ditemukan oleh Abu Ubaid: yaitu berupa kebijakan pemerintah, seperti Iqta’ tanah gurun dan deklarasi resmi terhadap kepemilikan individu atas tanah tandus yang disuburkan. Maka tanah tersebut diberikan dengan persyaratan diolah dan dibebaskan dari membayar pajak, tetapi jika tanah tersebut di biarkan menganggur selama 3 tahun berturut-turut, maka akan di denda dan dialihkan kepemilikan atas nama tanah tersebut. Tanah gurun yang termasuk dalam hima juga akan di reklamasikan jika tidak ditanami selama 3 tahun dapat ditempati orang lain. Menurut Abu Ubaid sumber dari publik seperti Air, Padang rumput Pengembalaan, dan Tambang minyak tidak boleh di monopoli seperti pada Hima. Semua sumber daya tersebut dikelola untuk negara dan mensejahterakan masyarakat.[9]
4.       Pertimbangan kebutuhan
Pertimbangan kebutuhan yang di maksud adalah Abu Ubaid sangat tidak setuju ketika pembagian zakat dibagikan merata kepada 8 kelompok penerima zakat. Karena masing-masing di antara 8 penerima zakat mempunyai kebutuhan yang berbeda, sehingga zakat tidak harus sama bagiannya.
Abu Ubaid tidak memberikan hak zakat kepada orang-orang yang memiliki 40 dirham atau harta lainnya yang setara, dan di sisi lain orang yang memiliki 200 dirham wajib mengeluarkan zakat. Dari keterangan di atas, Abu Ubaid meng identifikasikan ada tiga kelompok sosio-ekonomi yang berkaitan dengan status zakat yaitu:
Ø  Kalangan orang kaya yang terkena wajib zakat.
Ø  Kalangan menengah yang tidak terkena wajib zakat, tetapi juga tidak berhak menerima zakat.
Ø  Kalangan penerima zakat.
Cara mendistribusikan zakat kepada kalangan penerima zakat, Abu Ubaid mengumpulkan zakat tersebut kepada petugas pengumpul zakat (amil) dan memberikan zakat sesuai hak-nya. [10]
5.       Peran negara dalam perekonomian
Pemikiran Abu Ubaid yang tertuang dalam kitab al amwal  adalah peranan negara dalam perekonomian yang mengulas tentang hak negara atas rakyat dan hak rakyat atas negara, dimana analisis yang digunakan beliau merujuk pada kaidah hadits-hadits yang berkaitan dengan pemerintahan. Hasil implementasi dari analisis itu direalisasikan dalam kaidah kontrak kekayaan bagi seluruh kaum muslimin. Unsur-unsur kontrak itu meliputi:
1.      Azas pengelolahan harta didasarkan atas ketaqwaan kepada Allah swt
2.      Keberadaan kekayaan pada komunitas kaum muslimin merupakan tanggung jawab seluruhnya, dan kepala negara berhak menggunakannya demi kepentingan seluruh kaum muslimin.
3.      Setiap perbuatan dihadapkan pada tanggungjawab, pemerintah harus menjaga keamanan, meningkatkan kesejahteraan, melindungi hak-hak rakyat, mengatur kekayaan publik, dan menjamin terpeliharanya maqasid syariah.
Abu Ubaid menjadikan keadilan sebagai prinsip dasar (basic princivil) dalam misi kekhalifahan. Diriwayatkan dari Imam Ali ra “keadilan adalah suatu hak dan pemerintah wajib menegakan hukum sesuai dengan Allah syariatkan dan menjalankan amanat, ketika pemerintah melakukan hal tersebut wajib bagi rakyat mendengar, menaati, memenuhi panggilan negara dan pemerintah”
Khalifah dan pemerintah menempatkan hukum dan berdasarkan Al-Qur’an dan menyayangi rakyatnya sebagaimana lelaki menyayangi keluarganya. Peran negara begitu besar dalam perekonomian karena tugas negara adalah menegakan kehidupan sosial berdasarkan nila-nilai keadilan yang disyariatkan , seperti penerapan zakat dapat mengikis kesenjangan sosial dan menumbuhkan kepedulian sosial. Dan dengan mengatur administrasi keuangan negara seefektif mungkin sehingga penyediaan kebutuhan pokok, fasilitas umum, distribusi pendapatan dapat menjamin kemaslahatan umat  sehingga terselenggara kegiatan ekonomi yang berkeadilan. Dimana sasaran beliau adalah legitimasi dari sosio-politik ekonomi yang stabil dan adil. [11]
6.       Sumber Penerimaan Keuangan Publik
Kitab Al-Amwal Abu Ubaid secara khusus memusatkan perhatian sekitar keuangan publik (public finance), analisis yang beliau titik beratkan adalah pada praktek yang dilakukan Rasulullah, Khulafaurrasyidin, terutama Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul Azis sebagai contoh ideal dalam pengelolaan keuangan publik. Institusi yang mengelola disebut Baitul Mal.
Baitul Mal terbentuk setelah perang badar menurut pendapat yang diunggulkan (qaul Rajih), karena waktu kaum muslim mendapatkan harta rampasan perang (ghanimah) yang banyak, dan pada waktu tempat penyimpanan kekayaan negara seperti ghanimah, shadaqoh, dan fa’I adalah masjid.
Setelah melalui perkembangan beberapa saat kemudian sumber penerima keuangan publik pun bertambah seperti; kharaj, ‘usyr, dan khums. Dalam kitab Al Amwal banyak harta yang diserahkan kepada Rasulullah yang berasal dari kaum musyrikin. Pertama, adalah fa'i ya’tu berupa harta benda dan tanah yang serahkan tanpa melalui peperangan. Fa’i tidak didistribusikan kepada para tentara seperti halnya ghanimah melainkan seluruhnya untuk Allah dan utusan_Nya.[12]
Inilah yang menjadi landasanya yaitu firman Allah swt Qs. Hasyr:6
!$tBur uä!$sùr& ª!$# 4n?tã ¾Ï&Î!qßu öNåk÷]ÏB !$yJsù óOçFøÿy_÷rr& Ïmøn=tã ô`ÏB 9@øyz Ÿwur 7U%x.Í £`Å3»s9ur ©!$# äÝÏk=|¡ç ¼ã&s#ßâ 4n?tã `tB âä!$t±o 4 ª!$#ur 4n?tã Èe@à2 &äóÓx« ֍ƒÏs% ÇÏÈ  
“ Dan apa saja harta rampasan perang (fa’i ) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya ( dari harta benda mereka ) maka untuk mendapatkan itu kamu tidak kamu tidak  menegrahkan seekor kudapun dan (tidak pula) seekor unta pun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan pada Rasul-Nya terhadap siapa yang dikehendakinya”
Kedua, adalah harta shafi yang Rasulullah saw dipilih dari ghanimah yang diperoleh kaum muslimin sebelum harta itu dibagikan. Sebagaimana riwayat Ibnu Abbas dari Rasulullah saw “ Berikanlah dari harta ghanimah bagian Rasulullah dan shafi”.
Ketiga, adalah harta 1/5 dari ghanimah yang telah dibagi.
Namun perlu diketahui bahwa sebagaimana menurut takwil Umar bin Khattab ada tiga harta yang masuk dalam keuangan publik yaitu: shodaqoh, fa’i, dan khumus. Tetapi menurut Abu Ubaid harta yang masuk dalam keuangan publik, yaitu sebagai berikut:[13]
1.      Shodaqoh/Zakat
Dalam hal ini, shodaqoh wajib atau yang disebut zakat harta seperti zakat emas, perniagaan, unta, sapi, kambing, biji-bijian dan buah-buahan. Dimana dari zakat harta ini dialokasikan untuk delapan golongan yang Allah sebutkan dalam Al-Qur’an, tidak seorang pun berhak atas zakat tersebut kecuali mereka dan merupakan kewajiban pada setiap harta apabila telah mencapai nisab dan haul untuk dikeluarkan zakatnya.
Mengenai shodaqoh wajib ini, mulai disyariatkan pada tahun kedua hijriyah, ayat-ayat Al-qur’an sebagai berikut: “........dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat...”( Qs. Al-Baqarah:43)
“....dan tunaikanlah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka...” (Qs. At-Taubah:103)
“....dan tunaikanlah haknya dihari memetik hasilnya (hendak dikeluarkan zakatnya).......”(Qs. Al-An’am:141)
      Namun yang perlu diketahui, Abu Ubaid mengungkapkan ketentuan yang disepakati (tidak ada ikhtilaf), yaitu apabila sesorang memiliki harta yang wajib dizakati diantaranya 200 dirham, 20 dinar, 5 ekor unta, 30 ekor sapi, atau 40 ekor kambing. konsekuensinya, bila seseorang memiliki salah satu diatas dari awal haul sampai akhir, maka wajib mengeluarkan zakatnya yang dinamakan nishab oleh Imam Malik dan penduduk madinah sedangkan penduduk Iraq menyebutnya asal harta.
2.      Fa’i
Fa’i menurut bahasa adalah ar’rujuu berarti kembali, sedangkan menurut istilah fiqh adalah sesuatu yang diambil dari harta ahli kitab dengan cara damai tanpa peperangan atau setelah peperangan itu berakhir, disebut fa’i karena Allah mengembalikan harta tersebut kepada kaum muslimin .
Menurut versi Abu Ubaid adalah sesuatu yang diambil dari harta dzimmah perdamaian atas jizyah dari mereka, yang sebab itu jiwa mereka dilindungi dan dihormati. Harta fa’i digunakan untuk kepentingan pemerintah dan kesejahteraan umat. Bagian-bagian dari fa’i adalah;
a.       Kharaj
Kharaj menurut bahasa ghullah yaitu penghasilan atau tanah taklukan kaum muslimin dengan jalan damai yang pemiliknya menawarkan untuk mengelola tanah itu sebagai pengganti sewa tanah dan bersedia memberikan sebagian dari hasil produksinya. Jumlah khurujnya setengah dari hasil produksi.
b.      Jizyah[14]
Jizyah berasal dari kata jaza yang berarti imbalan atau kompensasi. Jizyah adalah pajak tahunan yang wajib dibayarkan oleh non muslim khususnya ahli kitab untuk jaminan perlindungan jiwa, properti, ibadah, dan harta atau budak yang tinggal diwilayah pemerintah Islam. orang-orang non muslim disebut kafir dzimmi atau orang-orang yang dilindungi. Pajak ini juga disebut upeti atau poll-tax.
Pada masa Rasulullah saw, ketika memerintahkan kepada Muadz ibn Jabal atas ahli kitab di Yaman besarnya jizyah bagi masing-masing individu:
-          1 dinar atau
-          30 ekor sapi ( umur 1 tahun)
-          40 ekor sapi, jizyahnya 1 ekor musinah
-          Penghasilan dari tanah 1/10 bila diairi dengan hujan dan 1/5 bila menggunakan biaya.
Jizyah dipungut berdasarkan ketetapan Al-qur’an, Qs. At-Taubah:29 yang memerintahkan kaum mukminin: “perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam Keadaan tunduk.”
c.       Khumus
Khumus menurut Abu Ubaid adalah 1/5 ghanimah dari ahli harbi, rikaz dan luqatah. Dalam pembahasan khumus Abu Ubaid menyebutkan bahwa harta yang terkena khumus yaitu sebagai berikut.[15] Pertama beliau menafsirkan itu ghanimah sesuai firman Allah dalam Qs. Al-Anfal:41. Kedua, khumus yang diperoleh dari harta penambangan ataupun mineral dari harta yang terpendam/rikaz dan dipungut oleh negara Islam sebesar 20%. Ketiga, khumus pada harta yang dipendam, sebagaimana terjadi ketika mujahid dari asy’sya’abi dimana seorang lelaki menemukan 1000 dinar yang dipendam  diluar kota kemudian datang kepada Umar dan Umar mengambil 1/5 dari harta sebesar 200 dinar dan sisanya diberikan kepada orang yang menemukan. Kemudian 200 dinar itu dibagikan kepada kaum muslim. Keempat, khums juga ditarik atas apa yang diambil dari laut seperti mutiara, ambergris dan lainnya. Dilaporkan bahwa Khalifah Umar menarik khums dari mutiara dan menunjuk Yaali bin Ummayah sebagai pemungutnya.
Namun, perlu diketahui bahwa Abu Ubaid menyatakan bahwa ada tiga hukum yang dilakukan Umar pada harta benda yang dipendam. Pertama, harta itu diambil khumusnya dan sisanya diberikan kepada yang menemukan. Kedua, yang menemukan tidak diberikan harta itu, namun diserahkan sepenuhnya ke Baitul mal. Ketiga, harta itu diberikan sepenuhnya kepada yang menemukan dan tidak diserahkan ke Baitul mal.
d.      Al ‘usyr
Al-‘usyr merupakan jam’ dari kata ‘usyrun yaitu satu bagian dari sepuluh. Sedangkan menurut fuqaha terdapat dua pengertian, pertama ‘usyr zakat yaitu sesuatu yang diambil dari zakat tanaman dan buah-buahan (Qs. Al-An’am:141). Kedua, ‘usyr adalah sesuatu yang diambil dari harta kafir dzimmi yang melintas untuk perniagaan. Istilah usyr tidak dijumpai dalam Al-qur’an, tetapi dua ayat (Qs. Al-baqarah:276 dan Al-An’am:141) dipakai untuk merujuk padanya dan berdasarkan kedua ayat itulah usyr dipungut.[16]
7.       Pembelanjaan Penerimaan Keuangan Publik
Dalam masalah distribusi pendapatan memang erat kaitanya antara penerimaan dan pembelanjaan/pengalokasian untuk kepentingan publik.
Abu Ubaid menyebutkan kaidah mendasar dalam membatasi orang yang berhak atas kekayaan publik. Selanjutnya, bahwa zakat diambil dari mereka yang kaya dan dikembalikan pada mereka yang membutuhkan yaitu 8 golongan yang disebutkan dalam Al-qur’an. Bagaimanapun pendistribusian harta dalam Islam itu sangat penting dimana Rasulullah saw telah memberi batasan, yaitu seseorang yang tertimpa musibah besar dan memusnahkan harta bendanya dan seseorang yang tertimpa kemiskinan.
Abu Ubaid mengkhususkan sendiri mengenai persamaan manusia dalam kekayaan publik. Mengenai hal ini, diantaranya adalah komentar Abu Bakar ra, ketika datang padanya harta (fa’i/ghanimah), ia menjadikan (bagian) manusia sama, dan berkata “ aku menginginkan terhindar dari meminta-minta dan memurnikan perjuangan (jihad)ku bersama Rasulullah saw, kelebihan mereka adalah disisi Allah, adapun dalam kehidupan ini persamaan adlah hal yang baik.”
Dalam pendistribusian pengeluaran dari penerimaan khumus (khumus ghanimah, khumus barang tambang dan rikaz serta khumus lainnya) adalah ketentuan dari Rasulullah. Karena dana-dana publik merupakan kekayaan publik maka dialokasikan untuk kesejahteraan publik, seperti kesejahteraan anak-anak, korban bencana, santunan dan lainnya. [17]


8.       Hukum Pertanahan
Pemikiran Abu Ubaid mengenai hubungan antar rakyat dan negara demi stabilitas kesejahteraan rakyat dan negara selain masalah administrasi keuangan publik yang terdapat dalam kitab al amwal, beliau berbicara mengenai hukum pertahanan.
Para fuqaha membagi tanah yang berada dalam wilayah negara islam menjadi tanah ‘usyr dan kharaj. Dan Abu Uabid menyebutkan hukum pembagian tanah ‘usyr yang bukan kharaj ada 4 macam: pertama, setiap tanah yang diserahkan oleh pemiliknya kepada negara, seperti tanah madinah, mekkah, thaif dan Yaman. Kedua, setiap tanah yang diambil kemudian negara tidak melihat menjadikannya fa’i, akan tetapi menjadikannya ghanimah yang dibagi empat dari 1/5 yang diambil diantara mereka yang turut menaklukan khususnya seperti yang telah dilakukan Rasulullah terhadap tanah khaibar. Ketiga, tanah biasa yang tidak diurusi dan dianggap, kemudian oleh kepala negara dipetakan kepada seseorang dijazirah arab atau daerah lainnya, seperti yang dilakukan Rasulullah dan Khulafaurrasyidin yang meng-iqtha tanah Yaman, Yamamah, Basrah. Keempat, setiap tanah yang mati dan dihidupkan oleh seorang muslim dengan mengairi dan menanaminya. Berikut ini adalah hukum-hukum pertahanan yang dikemukakan oleh Abu Ubaid; [18]

a.       Iqtha
Iqtha ialah tanah yang diberikan oleh kepala negara kepada seorang rakyatnya untuk menguasai sebidang tanah dengan mengabaikan yang lainnya.
Dalam kitab Al-amwal, Abu Ubaid menafsirkan tanah bisa dijadikan iqtha dan yang tidak bisa. Dan biasanya setiap daerah atau tanah yang dihuni pada masa yang lama, kemudian ditinggalkan penghuninya maka keputusan hukum tanah itu diserahkan kepada kepala negara.
Kepala negara, begitu juga setiap tanah yang mati (tidak digarap) tidak ada seseorang yang mengelolanya dan tidak dimiliki oleh orang Islam atuapun orang kafir. Umar ra. Mengirim surat kepada Abu Musa “ jika tanah itu bukan tanah jizyah dan bukan tanah yang dialiri air jizyah, maka aku akan meng-iqtha tanah itu baginya.”
Sementara kasus lain bahwa Rasulullah meng-iqthakan tanah kepada zubair yang ada pohon kurma dan pepohonan. Kami melihat tanah itu pernah Rasulullah meng-iqthakan kepada kaum Anshar untuk mengelola dan mendiaminya. Kemudian tanah itu ditinggalkan, maka Rasulullah meng-iqthakan kepada Zubair.
Jadi,mengenai meng-iqtha hendaknya pemerintah menurut Abu Ubaid tidak meng-iqtha tanah kharaj, karena tanah kharaj adalah tanah yang produktif  memberikan hasil dan dapat menambah devisa negara. Disisi lain, dengan memetakan tanah kharaj dapat memberi manfaat untuk para pengembala hewan ternak, dimana hal ini dapat menambah pertambahan produksi hewan yang sama pentingnya dengan masalah pertanian.
b.      Ihya al mawat
Al Mawat adalah tanah yang mati, tandus tidak terurus, tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan. Sedangkan maksud ihya al Mawat adalah membuka kembali lahan yang mati itu dengan membersihkannya, mengairi, mendirikan bangunan, dan menanamkan kembali benih-benih kehidupan pada lahan tersebut. Dalam hal ini negara berhak menguasai tanah yang mati dengan menjadikannya milik umum yang semua manfaatnya diserahkan kepada kemaslahatan umat.
Mengenai ihya al Mawat, Abu Ubaid membagi menjadi tiga bagian:
1.      Seseorang datang ketanah tersebut lalu mengelola dan mendiaminya kemudian datang orang lain yang memperbaharui tanaman dan bangunan agar menjadi haknya tanah yang dikelola oleh orang sebelumnya. Dalam hal ini perbuatan orang tiu disebut al-irrqi al-Zhalim; perbuatan atas sesuatu yang bukan haknya dan ingin memiliknya. Adapun yang berhak atas tanah itu adalah orang yang pertama, seperti hadits riwayat Abu Hisyam, Rasulullah saw bersabda “ siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu jadi miliknya dan tidak ada hak bagi irqi zalim.”
2.      Kepala negara meng-iqthakan kepada seseorang  tanah mati, dan tanah itu menjadi milik penerima iqtha, kemudian orang itu menyia-nyiakan dengan tidak mengelola dan tidak mendiaminya, sehingga datang orang lain lalu mengelola dan mendiami serta menyangka tanah ini tidak ada yang mengurus. Dalam hal ini, pendapat Au Ubaid merujuk pada yang dilakukan Umar ra, terhadap orang yang tidak memperoleh iqtha’ pada masa Rasulullah. Kemudian ditelantarkan sampai pada masa Umar ra dan tanah itu digarap oleh orang lain, dengan berkata “kalau bukan iqtha’ adri Rasulullah aku tidak akan memberimu sedikitpun”
3.      Jika seseorang membangun tembok tanah apakah dengan iqtha’ dari pemerintah atau tidak kemudian meninggalkanya pada waktu yang lama dengan tidak mendiaminya. Abu Ubaid berkata “pada sebagian hadits dari Umar, bahwa ia memberi batas tiga tahun dan melarang orang lain mendiami tempat tersebut”.
Selanjutnya, menurut Abu Ubaid bila tanah produk ihya’ al mawat ini menghasilkan sesuatu dengan mengairi dan menanaminya, maka dikenakan zakat 1/10 untuk 8 mustahiq zakat.
c.       Hima
       Dalam hal ini yang dinamakan hima adalah perlindungan, menurut Abu Ubaid adalah tempat dari tanah yang tidak berpenduduk yang dilindungi oleh kepala negara untuk tempat mengmbala hewan-hewan ternak.
Dimana tanah hima ini adalah tanah yang mendapat perlindungan dari pemerintah, namun dapat dimanfaatkan oleh seluruh umat, seperti air, rumput, tanaman, hal ini sesuai dengann sabda Rasulullah saw, “ orang muslim adalah saudara bagi muslim yang lainnya, yang memberi mereka keleluasaan air dan rumput”.
9.       Fungsi uang
Menurut Abu Ubaid terdapat dua fungsi uang yang tidak mempunyai nilai intrinsik sebagai standar dari nilai pertukaran dan sebagai media pertukaran. Dalam hal ini ia menyatakan ;
“ Adalah hal yang tidak diragukan lagi bahwa emas dan perak  tidak layak untuk apapun kecuali keduanya menjadi harga dari barang dan jasa. Keuntungan yang paling tinggi yang dapat diperoleh dari kedua barang ini adalah penggunaanya untuk membeli sesuatu”.
Pernyataan Abu Ubaid tersebut menunjukan bahwa ia mendukung teori konvesional mengenai uang logam. Walaupun sama sekali tidak menjelaskan mengapa emas dan perak tidak layak untuk apapun kecuali keduanya menjadi harga dari barang dan jasa. Tampaknya, Abu Ubaid merujuk pada kegunaan umum dan relatif konstannya nilai dari kedua benda tersebut dibandingkan dengan komoditas lainnya. Disamping itu, Abu Ubaid secara implisit mengakui adanya fungsi uang sebagai penyimpanan nilai ketika membahas jumlah tabungan minimum tahunan yang wajib terkena zakat. [19]
Salah satu ciri khas kitab al Amwal diantara kitab-kitab lain yang membahas tentang keuangan publik (public finance) adalah pembahasan tentang timbangan dan ukuran, yang biasa digunakan dalam menghitung beberapa kewajiban agama yang berkaitan dengan harta atau benda dalam bab khusus. Dalam bab ini Abu Ubaid juga menceritakan tentang khilafah Abdul Al Malik Ibn Al Marwan dalam melakukan standarisasi dari berbagai jenis mata uang yang ada dalam sirkulasi.[20]
Hasil karyannya ada sekitar 20, baik dalam bidang ilmu Nahwu, Qira’ah, Fiqih, Syair dan lain-lain. Yang terbesar dan terkenal adalah Kitab Al –Amwal dalam bidang Fiqih. kitab Al –Amwal dari Abu Ubaid merupakan suatu karya yang lengkap tentang keuangan negara dalam islam.
Buku ini sangat kaya dengan sejarah perekonomian dari paruh pertama Abad ke 2 H. Buku ini juga merupakan rangkuman ( compendium ) tradisi asli ( authentic ) dari Nabi dan Atsar para sahabat dan tabi’in tentang masalah ekonomi. Sedikitnya ada 4 jenis produk hukum islam yang ada selama ini, yaitu kitab-kitab Fiqih, keputusan-keputusan pengadilan agama, peraturan perundangan di negeri-negeri muslim, dan fatwa-fatwa.
 Kitab al Amwal merupakan sebuah mahakarya tentang ekonomi yang dibuat oleh Abu Ubaid yang menekankan beberapa issu mengenai perpajakan, hukum, serta hukum administrasi dan hukum internasional. Kitab Al-Amwal secara komprehensif membahas tentang sistem keuangan publik islam terutama pada bidang administrasi pemerintahan. Kitab  ini juga memuat sejarah ekonomi Islam selama dua abad pertama hijriyah, dan merupakan sebuah ringkasan tradisi Islam asli dari Nabi, para sahabat dan para pengikutnya mengenai permasalahan ekonomi. Abu ubaid, dalam Kitab Al-Amwal, banyak mengutip pandangan dan perlakuan ekonomi dari imam dan ulama terdahulu. Ia sering mengutip pandangan Malik ibn Anas dan pandangan sebagian besar ulama madzhab Syafi’i lainnya, dan juga mengutip beberapa ijtihad Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani.[21]


[1] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2012), 264.
[2] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: The International Institute Of Islamic Tought Indonesia,2002), 13.
[3] P3EI UII Yogyakarta, Ekonomi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2013), 108.
[4] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2012),  267-270.
[5] Sabahuddin Azmi, Menimbang Ekonomi Islam, (Bandung: Nuansa, 2005), 50.
[7] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, 272-273
[8] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam,( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2012), 275.
[9] [9] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2012), 277
[10] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam,( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2012), 278-279.
[11] Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Depok:Gramata Publishing, 2010), 145.
[12] Muhammad Sharif Chaudhry, Sistem Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), 264.
[13] Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Depok:Gramata Publishing, 2010), 147-150.
[14] Muhammad Sharif Chaudhry, Sistem Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), 261.
[15] Muhammad Sharif Chaudhry, Sistem Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), 260-261.
[16] Muhammad Sharif Chaudhry, Sistem Ekonomi Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), 258.
[17] Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Depok:Gramata Publishing, 2010),150-151.
[18] Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Depok:Gramata Publishing, 2010), 151-153.
[19] Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Depok:Gramata Publishing,2010), 155.
[20] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Peimikiran Ekonomi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2012), 270-280.     
[21] http://ekonomi-islam.com/pemikiran-abu-ubaid-dalam-ekonomi (dikutip pada tanggal 21  September 2016).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Halaman Terakhir (Perihal Memilih Untuk Menyudahi)

Ada satu hal yang membuatku ingin terus membuka halaman per halaman. Menantangku untuk mengetahui sesuatu yang akan terjadi berikutnya. Tiap...